Kamis 19 May 2016 14:34 WIB

'Pilkada Langsung Sama dengan Urusan Tipu-menipu'

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Angga Indrawan
Sejumlah petugas Kelompok Panitia Pemungutan Suara (KPPS) mengenakan jas hujan saat pemungutan suara Pilkada serentak 2015 Walikota dan Wakil Walikota Mataram di Tempat Pemungutan Suara (TPS) 10, Lingkungan Kebon Jaya Timur, Kelurahan Monjok, Kecamatan Sel
Foto: Antara/Hero
Sejumlah petugas Kelompok Panitia Pemungutan Suara (KPPS) mengenakan jas hujan saat pemungutan suara Pilkada serentak 2015 Walikota dan Wakil Walikota Mataram di Tempat Pemungutan Suara (TPS) 10, Lingkungan Kebon Jaya Timur, Kelurahan Monjok, Kecamatan Sel

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Hukum Tata Negara, Margarito Kamis menilai pemilihan kepala daerah yang dilakukan secara langsung, sama saja dengan urusan tipu-menipu, sindikat suara dan sejenisnya. Berbicara tentang pilakada langsung, menurutnya sangat erat kaitannya dengan cukong, kapitalis yang ujung-ujungnya akan membuat negara Indonesia dikendalikan oleh mafia.

"Jangan bicara pilkada langsung kalau tidak bicara cukong, tidak bicara mengenai kapitalis. Karena itu nantinya negara diatur dengan cara mafia," kata Margarito saat menjadi pembicara seminar nasional bertema 'Pemilukada dalam Perspektif Demokrasi Pancasila' di Kampus Universitas Nasional, Jakarta Selatan, Kamis (19/5).

Margarito melanjutkan, saat ini Indonesia tengah ditipu oleh mereka yang mengagung-agungkan kehebatan demokrasi langsung. Indonesia merasa telah menjadi bangsa yang besar karena bisa memilih para pemimpin secara langsung. Padahal, kenyataannya Indonesia saat ini tengah digerus secara perlahan sehingga menjadi negara yang keropos.

"Tidak ada ekspor paling hebat dari Anerika kecuali demokrasi langsung. Tidak ada ekspor yang paling tinggi komoditinya kecuali demokrasi liberal. Kita ini aja yang tolol, seolah-olah kita akan dibilang bangsa besar kalau ada pemilihan presiden secara langsung, pemilihan kepala daerah langsung, pemilihan kepala desa langsung," ucap Margarito.

Bagaimana tidak, lanjut Margarito, uang negara yang sudah sedikit, terus berkurang karena digunakan untuk membiayai pilkada langsung. Akibatnya, pemerintah mesti bolak-balik mencari pinjaman untuk pembangunan.

"Bayangkan berapa duit pemilihan kepala daerah secara langsung kemarin? Tujuh triliun lebih. Padahal ini pemerintahan Jokowi bolak-balik pinjem uang dari luar untuk bikin jalan di Sumatera, Papua dan segala macem kagak ada duit. Duit negara yang sudah sedikit dipakai lagi untuk beli kertas, spanduk-spandung yang selesai itu hanya tergantung di warung-warung," kata Margarito.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement