REPUBLIKA.CO.ID, PALU -- Banjir bandang yang merusak satu desa di Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah pada 17 Mei 2016 diduga kuat akibat adanya perambahan hutan di sekitarnya.
"Bencana alam itu bukan hanya akiat fenomena alam, tetapi juga karena hutan di sekitarnya banyak berubah fungsi akibat dibabat untuk dijadikan kebun," kata Camat Palolo, Pakulla Paulus di Desa Sintuwu, Kecamatan Palolo, Kamis.
Buktinya, kata dia banjir bandang membawa potongan-potongan kayu yang diduga adalah hasil penebangan oleh masyarakat di hutan sekitarnya.
Pakulla berharap masyarakat, tidak hanya yang di sekitar Desa Sintuwu, tetapi juga desa-desa lain untuk tidak lagi membuka lahan kebun dengan membabat hutan.
"Saya minta masyarakat tidak lagi menebang hutan untuk kepentingan lahan kebun karena hal itu akan merugikan diri sendiri dan orang lain," katanya.
Menurut dia, bencana alam yang baru saja memporak-porandakan permukiman warga dan areal perkebunan kakao dan tanaman lainnya karena faktor curah hujan yang tinggi di wilayah itu, tetapi juga karena hutannya sudah rusak. Kalau hutan sudah rusak, otomatis terjadi erosi karena tidak ada lagi pepohonan yang berfungsi sebagai penahan banjir.
"Karena itu mari kita berkaca dari bencana ini agar ke depan kita tidak lagi mengalami bencana yang sama," imbau Camat Pakulla.
Data dari Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) menyebutkan banyak desa di wilayah Kecamatan Palolo dan Nokilalaki berbatasan langsung dengan kawasan Taman Nasional. Ada sekitar 74 desa di Kabupaten Sigi dan Poso yang berbatasan dengan kawasan Taman Nasional itu sehingga rawan terjadi gangguan, termasuk diantara perambahan untuk kepentingan lahan kebun masyarakat.