Rabu 18 May 2016 16:20 WIB

Warga Mandailing Natal Tolak Ekplorasi Gas Bumi

Sumur eksplorasi gas bumi (Ilustrasi)
Foto: ANTARA
Sumur eksplorasi gas bumi (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana eksplorasi gas panas bumi di lereng Gunung Sorik Marapi, Mandailing Natal, akhirnya memperoleh perhatian dari para perantau asal Madina di Jakarta. Komunitas Mandailing Perantauan (KMP), Rabu (18/5) melakukan unjuk rasa ke Kementerian ESDM, mempertanyakan akuisisi 100 persen PT Sorik Marapi Geothermal Power (PT SMGP) kepada KS Orka Renewables Pte Ltd Singapura (KS Orka) April 2016.

    

Membawa anggota sekitar 40 orang, KMP dipimpin Alfian Siregar. Mereka diterima Kepala Pusat Komunikasi Publik Ir Sujatmiko di Kantor Kementerian ESDM, Jl Medan Merdeka Selatan No 18, Jakarta Pusat. Pertemuan berlangsung dari pukul 10.30 sampai 12.00 siang.

Kepada Kementerian ESDM, Alfian mengatakan, akuisisi 100 persen perusahaan gabungan Origin Energy Geothermal Singapore Pte Ltd (Odan Tata Power International Pte. Ltd) menghina dan membohongi warga Mandailing Natal, karena membisniskan secara sepihak Izin Panas Bumi di kawasan Gunung Sorik Marapi, Sumatera Utara.

    

“Kami meminta Menteri ESDM mencabut izin PT SMGP, yang sejak awal, hanya menjadi agen asing untuk menguasai lahan di Mandailing Natal,” kata Alfian Siregar.

    

Menurut Alfian, masih banyak perusahaan lokal yang dapat mengeksplorasi geothermal di Lereng Gunung Sorik Marapi, Sumatra Utara, menjadi listrik, yang memahami situasi lingkungan, baik dengan kearifan terhadap masyarakat lokal, maupun terhadap lingkungan Gunung Sorik Marapi, yang masih aktif, dan rentan atas bencana, jika salah penanganan.

Kepada KMP, Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian ESDM, Sujatmiko mengatakan warga Madina harus menyadari eksplorasi gas bumi di lereng Gunung Sorik Marapi sangat penting untuk kemajuan Mandailing Natal pada masa mendatang. Namun, ia tidak bisa menjawab ketika Alfian Siregar mempertanyakan mengapa Kementerian ESDM mengeluarkan izin baru setelah Bupati Mandailing Natal membekukan izin yang lama.

Ia berjanji melaporkan protes KMP kepada Menteri. Diakui Sujatmiko, ia pernah ke Mandailing Natal dan menurut dia banyak hal yang harus dibenahi atas perizinan tambang di Madina. PT Sorik Mas Marapi Mining, misalnya, terbukti merusak Kawasan Bukit Barisan.

    

Khusus PT SMGP, Ir Sujatmiko mengatakan, Kementerian ESDM dapat membatalkan perizinan dan rencana eksplorasinya di Mandailing Natal, jika proses akuisisinya kepada Orka melanggar aturan. Apalagi jika ternyata merusak kawasan Gunung Sorik Marapi dan tidak mendapat tempat di hati warga lima kecamatan sekitarnya. Dalam press releasenya, KMP menilai PT SMGP tidak memiliki itikad baik dalam mengeskplorasi gas panas bumi di Mandailing Natal.

    

Sejak 2008, sebuah perusahaan agency gas bernama PT Supraco melobi Pemkab Madina untuk memperoleh Izin Usaha Pertambangan (IUP) di lereng Gunung Sorik Marapi. Mengingat potensi gas di lereng Sorik Marapi dapat memproduksi listrik 240 MW dan Sumut terus-menerus krisis daya penerangan, pada 2009, Bupati Mandailing Natal memberi isyarat akan memberi IUP kepada PT Supraco.

    

PT Supraco, kemudian, mencari pemodal dan menemukan seorang bernama Andi Kelana, yang bekerja di PT OTP Geothermal Servis Indonesia, sebuah perusahaan penanaman modal asing, yang berkantor di Singapura. Pada Mei 2010, keempat perusahaan membentuk dua buah perusahaan baru. PT Gheotermal Servis Indonesia (Andy Kelana lima persen, Origin 45 persen, Tata 45 persen) dan PT Sorik Marapi Geothermal Power (PT Supraco lima persen, Origin 45 persen, dan Tata 45 persen).

Dengan semangat Peraturan Presiden No 4 Tahun 2010 dan Peraturan Menteri ESDM No 2 tanggal 27 Januari 2010 tentang percepatan pembangunan pembangkit listrik di Indonesia, Bupati Mandailing Natal mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) pada September 2010 kepada PT Sorik Marapi Geothermal Power, yang saat itu di Madina, lebih populer dengan nama OTP.

    

Karena tidak ada sosialiasi dan langsung mengangkut peralatan ke lapangan, rencana eksplorasi gas di Lereng Gunung Sorik Marapi tersebut ditentang oleh warga lima kecamatan di Madina (Tambangan, Panyabungan Barat, Lembah Sorik Marapi, Panyabungan Selatan, dan Puncak Sorik Marapi). Sejak PT SMGP hadir, hampir setiap bulan lima ribuan warga melakukan demo.

    

PT SMGP mengadu domba warga. Pro dan kontra pun, pelan-pelan, merasuki warga lima kecamatan. Puncaknya pada 11 November 2014, aksi ribuan masyarakat memblokir jalan lintas Sumatera ditantang warga yang lain: Seorang tewas dan belasannya digelandang ke Kantor Polisi.

    

Melihat masyarakat sudah menjadi korban dan rencana eksplorasi memasuki tahap merusak lingkungan dan menimbulkan bencana alam, Bupati Mandailing Natal 9 Desember 2014, mencabut izin PT Sorik Marapi Geothermal Power.

    

Setelah Pemerintah mengubah kebijakan izin pengelolaan tambang, (dikeluarkan oleh Menteri ESDM, tidak lagi oleh Kepala Daerah), PT Sorik Marapi Geothermal Power mendapat angin. Mereka mengurus izin baru dan memperolehnya pada 21 April 2015.

    

PT Sorik Marapi Geothermal Power pun makin tidak lagi peduli dengan lingkungan. Diam-diam, mereka mulai membeli lahan dari masyarakat. Padahal, sesuai Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 568 Tahun 2012, pemakaian lahan eksplorasi merupakan hak pinjam pakai.

    

PT Sorik Marapi Geothermal Power mulai menguasai ratusan hektare lahan yang digarap masyarakat, meski SK Menteri Kehutanan No. 568 Tahun 2012, hanya menoleransi pemakaian untuk eksplorasi 14 hektare, jalan 20 hektare, dan pipa 2 hektare.

Kecurigaan dari awal, bahwa PT Sorik Marapi Geothermal Power hanya ingin menguasai lahan, terbukti pada April 2016. Setelah berhasil membeli ratusan hektare lahan dari tokoh-tokoh masyarakat di Purbalamo, mereka menjual seluruh saham perusahaan kepada KS Orka Renewables Pte Ltd Singapura (KS Orka).

    

Hingga kini, kegiatan eksplorasi gas panas bumi belum tampak di Mandailing Natal. Peralatan yang dikirim pada Tahun 2012 diangkut kembali oleh PT SMGP.

Selain bukti lahan yang dalam proses jual beli dengan tokoh pesantren dan beberapa warga, bukti kehadiran PT SMGP di Mandailing Natal, hanya sewa rumah kepada mantan wakil bupati (Rp 500 juta setahun) dan sewa lahan kepada seorang anggota DPRD, yang nilainya miliaran rupiah per tahun.

    

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement