REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masuknya unsur surveyor dalam verifikasi pungutan dana perkebunan kelapa sawit dinilai memberikan hal positif. Kehadiran surveyor ini menunjukkan adanya kepercayaan pemerintah kepada pengusaha sekaligus juga membuat pungutan menjadi lebih transparan.
Hal tersebut disampaikan pakar sosial ekonomi pertanian dari Universitas Hasanuddin, Muslim Salam. Muslim menyampaikan hal tersebut untuk menanggapi terbitnya Perpres Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2015 mengenai penghimpunan dan penggunaan dana perkebunan kelapa sawit.
''Pelibatan surveyor dalam verifikasi pungutan kelapa sawit ini merupakan hal yang wajar karena dengan pelibatan tersebut harapannya dapat memperkuat unsur pertanggung jawaban dari pungutan yang dibebankan,'' katanya di Jakarta, Selasa (17/4).
Muslim menilai tanpa verifikasi surveyor maka bisa saja publik mempersoalkan data dan angka yang menjadi dasar penarikan pungutan ekspor kelapa sawit. Kondisi tersebut, menurut guru besar Universitas Hasanudin, akan berbeda dengan pelibatan surveyor.
''Tentunya data, angka, dan prosedur dasar pungutan itu bisa dipertanggung jawabkan. Penunjukan ini, nantinya dapat meningkatkan kualitas minyak sawit yang diekspor ke mancanegara,'' jelasnya.
Sementara itu menurut perpres, dalam rangka pembayaran pungutan atas ekspor Badan Pengelola Dana Kelapa Sawit dapat menunjuk surveyor dalam melakukan verifikasi atau penelusuran teknis sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Penunjukan surveyor oleh Badan Pengelola Dana sebagaimana dimaksud dilakukan setelah berkoordinasi dengan Kementerian Perdagangan sebagaimana yang diatur dalam Perpres Nomor 24 Tahun 2016 itu.
''Tujuan mulia yang perlu dukungan pemilik perkebunan kelapa sawit maupun produsen yang memanfaatkan turunan produk kelapa sawit. Tanpa dukungan mereka kelapa sawit kita bisa habis tanpa ada pengembangan,'' kata Muslim.