Senin 16 May 2016 14:24 WIB

Dewie Yasin Limpo Menangis

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Angga Indrawan
Mantan anggota DPR Dewie Yasin Limpo.
Foto: Antara/Wahyu Putro A
Mantan anggota DPR Dewie Yasin Limpo.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Partai Hanura, Dewie Yasin Limpo merasa hukuman 9 tahun penjara dan denda Rp 300 juta Subsideir 6 bulan kurungan yang dituntutkan Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kepadanya tidak adil. Terlebih, Dewie merasa dirinya hanya berusaha memperjuangkan aspirasi rakyat.

"Tidak adil (tuntutan yang dilayangkan jaksa). Saya memperjuangkan aspirasi rakyat, tapi saya harus dipenjara seperti ini," kata Dewie sambil menangis, setelah mengikuti sidang pembacaan tuntutan di Gedung Pengadilan Tipikor, Jalan Bungur Besar, Kemayoran, Jakarta, Senin (16/5).

Dengan berusaha menahan isak tangis, Dewie menyatakan jika apa yang telah dia perbuat, sama sekali tidak merugikan megara. Dewie juga berusaha membela diri dengan menyebut dirinya tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi.

"Yang jelas saya tidak merugikan negara, saya tidak korupsi dan saya bukan koruptor," ucap Dewie.

 

Dewie dan staf ahlinya, Bambang Wahyuhadi dinyatakan terbukti menerima suap sebesar 177.700 dolar Singapura (sekitar Rp 1,7 miliar) dari Kepala Dinas ESDM Kabupaten Deiyai, Papua, Irenius Adii dan seorang pengusaha, Setiady Jusuf kepada Dewie Yasin Limpo. Uang suap yang diterima Dewi dimaksudkan agar dirinya bersedia mengawal anggaran dari pemerintah pusat terkait rencana pembangunan Pembangkit Listrik di Kabupaten Deiyai, Papua.

Dewie kemudian meminta Irenius Adii agar mempersiapkan dana pengawalan anggaran sebesar 10 persen dari anggaran yang diusulkan, sebagai imbalan bagi dirinya. Setelah melakukan berbagai negosiasi, Pemilik PT Abdi Bumi Cendrawasih, Setiadi Yusuf bersedia memberikan dana pengawalan kepada Dewie sebesar 7 persen dari anggaran yang diusulkan, dengan syarat perusahaannya yang menjalankan tender proyek tersebut. Sehingga, apabila Setiadi gagal menjadi pelaksana proyek, maka uang harus dikembalikan.

Dewie kemudian meminta asisten pribadinya, Rinelda Bandaso untuk menjelaskan bahwa dirinya telah menyampaikan proposal pembangunan Pembangkit Listrik di Kabupaten Deiyai, Papua kepada Badan Anggaran. Setelah mendengar penjelasan, Setiadi pun sepakat menyerahkan setengah dana pengawalan, sebesar Rp 1,7 miliar dalam bentuk dolar Singapura. Uang pun diserahkan pada 20 Oktober di Resto Baji Pamai Mal Kelapa Gading Jakarta Utara dari Irenius dan Setiady kepada Rinelda yaitu sebesar 177.700 dolar Singapura.

Atas perbuatannya tersebut, jaksa merasa Dewie dan Bambang layak disangkakan pasal 12 huruf a UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo pasal 64 ayat 1 KUHP dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar.

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement