Ahad 15 May 2016 23:11 WIB

Dukungan Pemerintah kepada Korban Kejahatan Seksual Dinilai Minim

Rep: Umi Nur Fadhilah/ Red: Karta Raharja Ucu
Pelecehan seksual anak (ilustrasi).
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Pelecehan seksual anak (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nurani Perempuan Women Crisis Center (WCC) mengungkapkan, peran serta dan dukungan pemerintah daerah terhadap penanganan korban kejahatan seksual, masih minim. Lembaga swadaya masyarakat ini, merupakan salah satu yang konsen menangani kasus kekerasan seksual pada perempuan dan anak di Sumatra Barat (Sumbar).

"Hingga saat ini, kami tidak mendapatkan dukungan dana dari pemda dalam pelaksanaan kerja-kerja pemberian layanan bagi perempuan dan anak perempuan," kata dia Ketua WCC Nurani Perempuan, Yefri Heriani saat dihubungi Republika.co.id, Sabtu (14/5).

Ia mengingatkan, pemerintah yakni negara, wajib memastikan hak-hak korban kekerasan kejahatan seksual agar terpenuhi. Alasannya, ia mengungkapkan, sejak 2000, negara telah mencanangkan zero tolerance for violence. Pencanangan tersebut, diikuti dengan pembentukan Pusat Layanan Terpadu (PPT) dan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A).

"Sumatra Barat, telah memiliki P2TP2A sejak 2004. Sayangnya, banyak P2TP2A tidak memiliki sumber daya yang cukup dan minimnya ketersediaan anggaran," ujar Yefri.

Kendati tidak ada dukungan anggaran, ia mengatakan, koordinasi Nurani Perempuan WCC selalu dilakukan, khususnya melalui Badan Pemberdayaan Perempuan dan Anak Provinsi Sumatra Barat (BPPA). Selain itu, Nurani Perempuan juga dilibatkan dalam penulisan kebijakan daerah Perda Nomor 5 Tahun 2013 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak. Artinya, ia menuturkan, pemda sudah berupaya untuk mengambil peran dalam pembuatan kebijakan dan koordinasi.

Berdasarkan catatan Nurani Perempuan, Yefri mengungkapkan, kasus kekerasan seksual pada perempuan dan anak bukan hal baru di Sumbar. Sejak 2010, salah satu kasus yang dilaporkan, yakni seorang bayi perempuan (tiga bulan) di Kabupaten Limapuluh Kota yang diperkosa pamannya.

Kemudian, ada laporan seorang perempuan (22 tahun) yang melaporkan, telah mengalami perkosaan sejak usia 10 tahun. Kasus tersebut tidak dilaporkan, karena korban merupakan anak angkat dari pelaku.

Selain itu, seorang anak perempuan (16) menjadi korban pemerkosaan ayah kandungnya sejak usia tujuh tahun. Kemudian, kasus yang paling banyak mendapatkan perhatian, yakni DPN (14) di Lima Puluh Kota pada 2014 lalu.

"Di berbagai wilayah lainnya tindakan perkosaan, eksploitas seksual, pelecehan seksual, penyiksaan seksual dan lainnya semakin banyak dilaporkan," jelasnya.

Yefri menuturkan, berdasarkan catatan tahunan Nurani Perempuan, menunjukan terjadi peningkatan laporan kasus kekerasan seksual pada perempuan dan anak perempuan. Ia menjabarkan, catatan tahunan pada 2014 menunjukan ada 31 kasus kekerasan seksual. Sementara pada 2015, dilaporkan ada 44 kasus kekerasan seksual.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement