Sabtu 14 May 2016 12:38 WIB

Swasembada Pangan Presiden Jokowi Dinilai tak Realistis

Rep: Qommarria Rostanti/ Red: Karta Raharja Ucu
Presiden Jokowi didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla memimpin rapat terbatas, di kantor Presiden, Jakarta, Jumat (23/10).
Foto: Setkab
Presiden Jokowi didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla memimpin rapat terbatas, di kantor Presiden, Jakarta, Jumat (23/10).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Target swasembada pangan yang digadang-gadang bakal tercapai pada 2017 oleh pemerintah era Joko Widodo dinilai tidak realistis. Nasib target ini diperkirakan tak akan jauh berbeda dengan era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang beberapa kali gagal menargetkan swasembada pangan.

Ambisi swasembada pangan terancam gagal karena pemerintah hanya memperhatikan infrastruktur. Salah satunya melalui paket kebijakan ekonomi Jokowi jilid IV tanpa memperhatikan sumber daya manusia (SDM)-nya secara serius.

Padahal regenerasi SDM yaitu petani yang menjadi faktor penentu berhasil tidaknya program swasembada pangan tak tersentuh sama sekali. "Faktanya, profesi petani saat ini kurang diminati oleh generasi muda. Generasi muda saat ini lebih tertarik bekerja di bidang industri daripada bidang pertanian," ujar peneliti Merapi Cultural Institute (MCI) Agustinus Sucipto, Ahad (14/5).

Gejala ini salah satunya bisa dilihat dari banyaknya generasi petani yang lebih memilih meninggalkan kampung halaman mereka untuk bekerja sebagai tenaga kerja Indonesia/wanita (TKI/TKW). Selain itu, banyak anak petani usia produktif lebih memilih hijrah ke kota menjadi buruh pabrik (industri).

Dalam budaya kita, kata dia, petani dianggap sebagai profesi kelas dua atau bahkan menjadi pilihan terakhir. "Profesi petani indentik dengan pekerjaan kasar, kotor dan menjadi masyarakat kelas rendah atau sudra," kata Agustinus.

Dalam masyarakat Indonesia, ada stigma bahwa petani adalah pekerjaan yang tidak memiliki prospek ekonomi cerah. Di banyak keluarga petani pun, orang tua berharap anak-anaknya menjadi, guru, polisi, tentara, dokter, pilot dan bidang kerja lain yang nonpertanian.

Tak jarang, banyak petani yang rela menjual sawah untuk biaya pendidikan anak-anak mereka agar tidak menjadi petani. Bahkan, ada yang menjual sawah sebagai uang pelicin agar anak mereka bisa bekerja di sektor lain yang menurut mereka lebih terhormat.

"Profesi petani menjadi pilihan terakhir ketika mereka tidak memperoleh pekerjaan yang mereka inginkan," ujar pria yang kini konsen pada kajian masifnya pergeseran budaya agraris ke industri di Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement