Kamis 12 May 2016 10:33 WIB

BPS Jember Kesulitan Sensus Ekonomi Kalangan Advokat

Red: Ilham
Petugas BPS melakukan Sensus Ekonomi 2016 (ilustrasi)
Petugas BPS melakukan Sensus Ekonomi 2016 (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JEMBER -- Badan Pusat Statistik Kabupaten Jember, Jawa Timur, kesulitan melakukan sensus ekonomi kalangan advokat. Alasannya, responden menolak memberikan keterangan kepada petugas Sensus Ekonomi 2016.

"Petugas kami kesulitan untuk mendapatkan data pendapatan dari pengacara dan notaris karena pengacara menilai kuisoner yang diajukan petugas sensus tidak relevan," kata Kepala BPS Jember Indria Purwaningsih di Kantor BPS setempat, Kamis (12/5).

Ia mengatakan, sebagian besar pengacara dan notaris hanya mau membubuhkan tanda tangan. Namun menolak untuk memberikan data pendapatan mereka sehingga petugas sensus ekonomi yang diterjunkan di lapangan harus kembali dengan tidak mendapatkan data ekonomi yang dibutuhkan.

"Sesuai dengan Undang-undang, kami hanya mengeluarkan data makro dan bukan data mikro sehingga seharusnya para advokat tidak perlu takut untuk memberitahukan datanya kepada petugas sensus karena kerahasiannya dijamin," katanya.

Menurut dia, BPS Jember sudah mengundang asosiasi pengacara dan notaris saat sosialisasi Sensus Ekonomi (SE) 2016. Namun mereka menilai pendataan sensus ekonomi tersebut tidak relevan.

"Saat ini BPS minim data jumlah warga Jember yang berprofesi sebagai pengacara atau notaris, bahkan data jumlah klien juga tak bisa terdata karena mereka enggan memberikan informasi. Padahal, SE 2016 ditujukan agar pemerintah memiliki data akurat mengenai pendapatan masyarakat di seluruh Indonesia," katanya.

Selain kalangan advokat, lanjut dia, responden yang sulit didata dan enggan memberikan informasi tentang kuisoner yang disodorkan petugas, yakni pemilik indekos karena mereka menilai bahwa pendataan ekonomi itu bermuara pada pengenaan pajak. "Kami sudah tegaskan kepada petugas sensus di lapangan untuk memberikan informasi yang sejelas-jelasnya kepada responden bahwa pendataan itu tidak ada kaitannya dengan pajak dan tidak ada pungutan biaya atas pendataan sensus tersebut," ujarnya.

Wakil Sekretaris Bidang Pendidikan dan Pengkaderan DPC Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Jember, Abdil Furqon mengatakan, ada beberapa hal dari advokat yang tidak harus dipublikasikan atau diketahui oleh orang lain, termasuk honor yang diterima dari setiap klien yang didampingi para advokat.

"Proses hukum dan honorarium advokat untuk pendampingan sebuah kasus hukum tidak etis kalau disampaikan kepada publik karena sampai saat ini tidak ada aturan baku mengenai besaran nilai ekonomis jasa advokat," tuturnya.

Menurut dia, perbedaan tarif jasa antara advokat senior akan berbeda dengan advokat junior karena tarif advokat senior akan lebih mahal dibandingkan advokat junior sehingga kalau diambil rata-rata untuk penerapan besaran pajak profesi, maka advokat berpenghasilan rendah akan protes.

"Pendapatan advokat tidak menentu dan tarif jasa pendampingan hukum juga bervariasi, bahkan pernah selama satu bulan penuh seorang advokat tidak menerima klien, sehingga belum ada parameter yang jelas untuk mendata pendapatan bulanan rata-rata seorang advokat," katanya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement