REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyatakan pemberlakuan hukuman pemberatan bagi pelaku kejahatan seksual menjadi pilihan bagi pemerintah. Meski demikian, hukum kebiri suntik kimia akan dipertimbangkan pelaksanaannya.
Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Untung Suseno Sutardjo, mengatakan berdasarkan hasil rapat koordinasi antar beberapa kementerian pada Selasa (10/5), pemerintah memilih menetapkan hukuman pemberatan bagi pelaku kejahatan seksual. Hukuman pemberatan yang dimaksud berupa pidana maksimal dan mengumumkan nama pelaku kepada publik.
"Kalau untuk kebiri yang secara kimia akan dibahas lebih lanjut ke depannya. Sebab, perlu dilihat apakah kejahatan seksual dipengaruhi gangguan psikis atau tidak," jelas Untung kepada Republika.co.id, Rabu (11/5).
Bagi pelaku kejahatan seksual akibat gangguan psikologis, hukuman kebiri tak sepenuhnya efektif. Hukuman kebiri semacam itu, Untung mengatakan tidak akan memperbaiki kondisi pelaku secara psikologis. "Potensi kejahatan seksual tetap ada meski hormon sudah dikendalikan. Selain itu, tetap ada dampak kesehatan lainnya," tambah Seno.
Sementara itu, Wakil Ketua Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia (PDSKJI), Eka Viora menjelaskan ada efek samping fisik terhadap hukuman kebiri dengan suntik kimia. Efek samping berasal dari obat yang digunakan.
“Efek kimia akan menghilangkan hormon sekunder laki-laki. Selanjutnya, dia akan jadi seperti perempuan. Kalau waria senang biasanya karena akan muncul sifat-sifat perempuannya, misalnya payudara bisa membesar, tapi tulang mudah keropos. Itu kan membunuh juga namanya”, jelas Eka.
Menurut Eka, sanksi pidana dan sanksi sosial cukup untuk memunculkan efek jera. Yang utama adalah pendampingan pada masa hukuman, agar pelaku menyadari kesalahan dan tidak mengulangi perbuatannya.