REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat perpajakan dari Universitas Indonesia Darussalam menilai kebijakan pengampunan pajak lebih efektif ketimbang penegakan hukum untuk memperbesar basis pajak dan juga mengejar penerimaan negara.
Darussalam mengatakan, pengampunan pajak bisa dijadikan sebagai suatu masa transisi sebelum dilakukannya penegakan hukum yang tegas. "Jadi tax amnesty dulu baru penegakan hukum yang tegas bisa dilakukan," kata Darussalam, Senin (9/5).
Darussalam memaparkan, pengampunan pajak harus diberikan terlebih dahulu ketimbang penegakan hukum karena jumlah wajib pajak yang tidak patuh di Indonesia masih sangat besar. Ketidakpatuhan tersebut disebabkan banyak hal.
Misalnya karena ketidaktahuan mengenai kewajiban membayar pajak, kurangnya sosialisasi, sistem admisnistrasi pajak yang masih belum sempurna, hukum pajak yang belum sepenuhnya mencerminkan kepastian dan keadilan.
"Nah, kalau penegakan hukum yang dikedepankan, maka seberapa efektif yang dapat dilakukan, lantas seberapa cepat penegakan hukum yang akan dilakukan, lantas seberapa valid data yang dimiliki, kan belum ketahuan,” katanya.
Darussalam menambahkan, pengampunan pajak juga menjadi awal reformasi perpajakan secara keseluruhan bersamaan dengan reformasi atau amandemen UU KUP, PPh, PPN, dan Bea Materai. Nantinya, tarif PPh akan diturunkan di kisaran 17-20 persen pascadilakukannya pengampunan pajak.
“Fungsi tax amnesty ini adalah untuk membawa subjek pajak dan objek pajak yang selama ini belum dikenakan pajak untuk masuk ke dalam sistem administrasi pajak sebagai data," kata Darussalam.