Senin 09 May 2016 22:05 WIB

Angka Gizi Buruk di DIY Masih Tinggi

Pengidap gizi buruk,Yadi (20) yang berasal dari Parigi, Kabupaten Pagandaran, dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Al-Ihsan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Senin (15/2).
Foto: Antara/Novrian Arbi
Pengidap gizi buruk,Yadi (20) yang berasal dari Parigi, Kabupaten Pagandaran, dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Al-Ihsan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Senin (15/2).

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Dinas Kesehatan Daerah Istimewa Yogyakarta mengakui angka anak penderita gizi buruk di daerah setempat masih tergolong tinggi meski masih jauh di bawah angka nasional.

Kepala Seksi Gizi Dinas Kesehatan (Dinkes) DIY Endang Pamungkasiwi di Yogyakarta, Senin (9/5), mengatakan angka kasus gizi buruk sesuai data terakhir pada 2015 mencapai 870 anak atau 0,5 persen dari seluruh anak atau balita di DIY.

"Meski masih di bawah target nasional 10 persen, penurunan angkanya tidak banyak berubah dari tahun-tahun sebelumnya," kata Endang.

Ia mengatakan sebanyak 870 anak penderita gizi buruk tersebut memiliki berat serta tinggi badan cukup rendah di bawah angka normal. Sebanyak 168 anak atau 0,1 persen di antaranya masuk kategori sangat kurus dan 3,4 persen masuk katagori sangat pendek.

"Untuk anak sangat kurus sudah langsung mendapat perawatan di puskesmas atau fasilitas kesehatan lainnya," kata dia.

Menurut Endang, berdasarkan sebarannya anak penderita gizi buruk paling banyak ditemukan di kabupaten Kulonprogo mencapai 0,81 persen, diikuti Kota Yogyakarta 0,69 persen, Gunung Kidul 0,53 persen, Sleman 0,4 persen, dan Bantul 0,38 persen.

Keberadaan kasus gizi buruk, menurut dia, tidak selalu berkorelasi dengan kondisi perekonomian suatu daerah. Kendati pada 2014, Pemda DIY mengumumkan angka kemiskinan menurun, pada kenyataannya jumlah kasus gizi buruk justru naik mencapai angka 0,51 persen.

"Kita ingat tahun 2014 ketersediaan pangan di DIY dikatakan surplus, tapi justru angka gizi buruk naik," kata dia.

Endang menjelaskan, munculnya kasus gizi buruk dipicu dari berbagai faktor. Selain kemungkinan disebabkan persoalan ekonomi, juga disebabkan pergeseran pola makan masyarakat khususnya perempuan sebagai calon ibu. Misalnya, jika dahulu masyarakat lebih banyak makan di rumah, sekarang lebih banyak yang makan di luar rumah, karena tuntutan pekerjaan atau kondisi lainnya.

"Selain tidak lagi memperhatikan faktor gizi, membeli makanan di restoran atau rumah makan juga tentu mempertimbangkan kemampuan ekonomi masyarakat untuk membeli," kata dia.

Berdasarkan hasil survei Konsumsi Makanan Individu pada 2014, menurut dia, kelompok usia produktif antara 15-55 tahun di DIY terindikasi kekurangan asupan gizi. Sementara dari kelompok produktif tersebut 46 persen di antaranya merupakan perempuan.

"Ketika modal dasar calon ibu sebelum menikah saja asupan gizinya kurang maka ketika menikah dan melahirkan, anak akan berisiko kurang gizi atau menderita cacat bawaan," kata dia.

Menurut Endang, untuk terus menekan angka gizi buruk serta mencapai target Pemda DIY yang mencanangkan penurunan angka hingga 0,48 persen pada 2017, Dinkes DIY akan terus meningkatkan sosialisasi program 1.000 hari Pertama Kehidupan (HPK) seorang anak.

Progam 1.000 HPK merupakan momen penting bagi kualitas pertumbuhan anak. Program 1.000 HPK, kata dia, yaitu 270 hari di dalam kandungan dan 730 hari dalam dua tahun pertama setelah lahir.

"Jadi pada masa emas itu, sang ibu harus semaksimal mungkin diupayakan mendapatkan asupan gizi yang cukup," kata dia.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement