Kamis 05 May 2016 21:32 WIB

Kampanye Islam Moderat

Ustaz Shamsi Ali
Foto: Agung Supriyanto/Republika
Ustaz Shamsi Ali

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Imam Shamsi Ali*

Dalam dua pekan ini saya bersama Ibu Fauziah Fauzan, Direktur pondok pesantren Diniyah Putri Padang Panjang, berkeliling ke beberapa kota di Amerika Serikat untuk mengkampanyekan Islam moderat yang menjadi karakter dasar Islam yang dipahami dan dipraktikkan di Indonesia.

Kegiatan ini disponsori oleh Kedutaan RI untuk AS di Washington DC. Berbagai kegiatan dirancang, termasuk memberikan presentasi dan diskusi di berbagai institusi think tank Amerika, seperti CSIS (Center for Strategic and International Studies), US Institute of Peace, USINDO (US-Indonesia Asscociation), dll. Kegiatan juga mencakup pertemuan dan presentansi dengan beberapa tokoh politik Amerika, termasuk beberapa anggota kongress. Kami juga berkesempatan memberikan presentasi dan diskusi di beberapa universitas, antara lain State University of Michigan dan Florida University.

Tema utama yang diusung dalam program ini adalah the role of education in advancing peace and tackling religious extremism (peranan pendidikan dalam membangun perdamaian dan meredam ekstremisme).

 

Tujuan kegiatan

Kegiatan promosi Islam moderat ini sesungguhnya menjadi bagian dari perhatian pemerintah Indonesia, sebagai bagian dari diplomasi publik. Tujuan utama tentunya adalah sebagai upaya meredam laju kesalah pahaman terhadap Islam di dunia barat, termasuk AS. Kesalah pahaman itu telah menjadi salah satu penyebab meningginya islamophobia dan sentimen anti Islam di barat.

Kesalah pahaman tentang Islam bukan barang baru di AS. Agama Islam kerap disalah pahami sebagai agama Timur Tengah. Seolah Islam itu monolithic dan memiliki wajah tunggal dalam kehidupan. Konsekwensinya ketika Islam diidentikkan dengan Timur Tengah maka seringkali yang terbangun adalah Islam sebagai agama yang kaku, anti HAM dan kebebasan, dan seterusnya.

Islam memang dipersepsikan begitu buruk di dunia barat. Kekerasan-kekerasan yang merajalela di berbagai belahan dunia, termasuk di Timur Tengah dan dunia Islam lainnya, memang masih diidentikkan sebagai Islam. Seolah di mana ada Islam di situlah akan timbul kekerasan. Dan di mana ada kekerasan Islam pulalah yang menjadi penyebabnya. Mungkin bahasa yang sering kita dengarkan adalah: tidak semua Muslim adalah teroris. Tapi semua teroris adalah Muslim

Tuduhan terhadap Islam sebagai agama ekstremisme saat ini seolah menjadi "recipe" dan "flavor" gonjang ganjing dunia. Bahkan seolah menjadi sebuah "addiction" bagi sebagian orang jika Islam dikaitkan dengan ekstremisme dan kekerasan (violence).

Semua hal di atas menjadi dasar penting bagi Indonesia untuk melakukan yang terbaik dalam upaya "countering". Sehingga kerusakan (damage) yang diakibatkan oleh kesalah pahaman itu sapat diredam dan diperkecil (minimized).

 

Kenapa Indonesia?

Indonesia adalah negara multi potensi. Negara dengan penduduk terbesar keempat dunia, demokrasi terbesar ketiga, dan peranan regional maupun global yang cukup signifikan. Tentu tidak terlupakan posisi strategi Indonesia di Asia Pasifik.

Yang terpenting dari semua itu adalah bahwa Indonesia sebagai negara berpenduduk terbesar dunia. Tidak saja terbesar secara kwantitas. Tapi yang terpenting kwalitas praktik Islam di Indonesia memiliki karakter khas. Keragaman (diversity) menjadi salah satu ciri itu. Tapi tidak kalah pentingnya Islam di Indonesia mampu merangkul demokrasi sebagai sistim kehidupan kolektifnya.

Singkatnya Islam Indonesia bisa menjadi antitesis dari penampakan wajah Islam di dunia barat. Islam Indonesia berkarakter tesenyum ramah, merangkul (inklusif) serta berkemjaun dan berwawasan peradaban modern (modern civization).

Semua karakter Islam di Indonsia di atas menjadikan Indonesia punya kredibilitas yang tinggi untuk mempromosikan Islam yang moderat. Islam yang sesungguhnya tidak saja bertolak belakang dengan mispersepsi di barat. Tapi juga Islam yang memang di dunia kita diharapkan memberikan kontribusi positif bagi  pembangunan dunia yang lebih damai, adil dan berkemakmuran.

Tapi bagi Indonesia sendiri kegiatan ini menjadi amanah konstitusinya. Dalam UUD 45 disebutkan bahwa Indonesia memiliki tanggung jawab untuk proaktif ikut menjaga perdamaian dunia. Sedangkan ekstremisme tidak lagi dapat disangkal sebagai antitesis dari perdamaian dunia saat ini. Bahkan tidak berlebihan jika saya katakan bahwa ekstremisme menjadi ancaman terbesar bagi perdamaian dunia dan peradaban itu sendiri.

Akhirnya, saya sendiri sebagai anak bangsa yang telah hidup hampir dua dekade di Amerika sejak lama memiliki visi yang sama. Yaitu menjadikan Islam sebagai agama "rahmatan lil-alamin". Agama yang tidak saja pada dirinya ramah dan sejuk. Tapi membawa keramahan dan kesejukan dalam kehidupan manusia, tentu pada semua tingkatannya. Semoga!

 

New York, 2 Mei 2016

 

* Presiden Nusantara Foundation

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement