REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Proses pembebasan 10 anak buah kapal (ABK) yang menjadi korban penyanderaan kelompok Abu Sayyaf tidak lepas dari peran jaringan pendidikan pendidikan Yayasan Sukma atau Sekolah Sukma Bangsa di Aceh, pimpinan Ahmad Baidowi.
Negosiasi dilakukan jaringan Yayasan Sukma dengan dialog langsung bersama pihak tokoh masyarakat, LSM, dan lembaga kemanusian daerah Sulu yang memiliki akses langsung kepada pihak Abu Sayyaf di bawah koordinasi langsung pemerintah Republik Indonesia.
Yayasan Sukma menggunakan pendekatan kerja sama pendidikan dengan pemerintah otonomi Moro Selatan yang sudah terjadi sebelumnya.
Eddy Mulya sebagai Minister Counsellor, Koordinator Fungsi Politik dari Kedutaan Besar Republik Indonesia di Manila, Filipina, tidak mau menyebut negosiasi yang dilakukan berkaitan dengan adanya utang budi pihak penyandera dengan tim negosiasi yang dipimpin Baidowi.
"Kita nggak ada utang budi. Jangan berpikiran negatif. Kita kerja sama sesama umat Islam," kata dia saat ditemui di Pangkalan TNI Angkatan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Ahad (1/5) malam.
Eddy menyebut proses pembebasan sandera tersebut merupakan hasil kerja tim dari pihak pemerintah Indonesia, seperti KBRI, KJRI, dan pihak TNI yang dikoordinasikan oleh Yayasan Sukma di bawah pimpinan Ahmad Baidowi.
Tim tersebut disebutkan mulai bekerja sejak 23 April 2016 hingga para sandera dibebaskan pada 1 Mei 2016.
"Di KBRI ada unsur diplomat, TNI, kita libatkan semua. Jadi ini kerja tim," ujar dia.
Namun Eddy mengatakan dirinya tidak bisa menceritakan secara detil tentang proses penyanderaan hingga pembebasan 10 WNI yang merupakan anak buah kapal Brahma-12. Dia juga enggan menjawab pertanyaan apakah motif penyanderaan murni uang tebusan.
Sebanyak 10 ABK yang disandera telah tiba di Tanah Air melalui Lanud Halim Perdanakusuma, Ahad (1/5) pukul 23.30 WIB. Para sandera langsung dibawa ke RSPAD Gatot Subroto untuk pengecekan kesehatan.