REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) belum mencatat laporan pelanggaran perusahaan terhadap hak maternitas buruh perempuan. Hingga kini, belum ada langkah penindakan khusus yang dilakukan Kemenaker.
Plt Direktur Jenderal Pembinaan dan Pengawasan Ketenagakerjaan dan Keselamatan Kesehatan Kerja, Maruli Hasiloan, mengatakan belum ada laporan pelanggaran hak umum atau hak maternitas terhadap buruh perempuan. "Kami belum mendapat laporan seperti itu. Ada dua kemungkinan, pertama karena memang tidak ada kejadian atau sudah ada kesadaran dari perusahaan," ujar Maruli kepada Republika.co.id di Jakarta, Jumat (29/4).
Saat disinggung tentang kasus pemecatan buruh perempuan di Bekasi akibat cuti melahirkan, Maruli mengaku belum mendengar hal tersebut. Karena itu, ia selama ini masih berupaya menekankan pemenuhan hak maternitas buruh perempuan secara preventif, yakni sosialisasi oleh dinas tenaga kerja di daerah.
Namun, lanjutnya, jika ke depannya ada temuan kasus perusahaan melanggar hak maternitas, pihak Kemenaker tetap akan memberikan sanksi. Sesuai dengan UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003, sanksi bisa berupa sanksi administratif, pidana penjara satu hingga empat tahun serta denda maksimal Rp 400 juta bagi pengusaha yang melanggar hak buruh perempuan.
Lebih jauh Maruli memaparkan, selain hak izin istirahat datang bulan dan cuti hamil, perusahaan harus memenuhi tiga hak buruh perempuan. Ketiganya adalah, hak kesetaraan upah bagi buruh perempuan dan laki-laki, hak mendapat fasilitas yang mendukung kerja lembur dan hak memperoleh fasilitas ruang menyusui di perusahaan.
Berdasarkan data yang dihimpun Republika.co.id di Kemenaker, hingga periode akhir pencatatan tenaga kerja pada 2015 lalu ada 44.434.390 buruh di Indonesia. Dari jumlah tersebut, ada 800.852 buruh perempuan tetap dan 4.473.438 buruh perempuan tidak tetap. Selain itu, ada 3.271.488 buruh laki-laki tetap dan 13.714.348 buruh laki-laki tidak tetap yang tercatat.
Maruli mengakui, pihaknya saat ini mengalami kekurangan tenaga pengawas ketenagakerjaan. Namun, dia enggan menyebut hal itu sebagai faktor utama tidak terdokumentasikannya kasus pelanggaran terhadap hak buruh perempuan.
"Dalam waktu dekat kami berencana menambah jumlah pengawas baru dan menggelar pelatihan peningkatan pengawasan kerja bagi pengawas yang sudah ada," ucap Maruli.