REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para founding father bangsa Indonesia telah memberi perhatian serius terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Menurut Anggota Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Achmad Dimyati Natakusumah, hal itu dibuktikan dengan beberapa rumusan tentang hak asasi manusia yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945.
"Kemerdekaan yang dinyatakan oleh rakyat dan bangsa Indonesia adalah untuk 'menciptakan kehidupan kebangsaan yang bebas,' salah satu hak asasi manusia yang selalu didambakan, dan dituntut oleh setiap manusia," ujar Wakil Ketua Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR RI itu dalam kegiatan Sosialisasi 4 Pilar Kebangsaan di hadapan Forum Persatuan Masyarakat dan Remaja Kecamatan Koja, Jakarta Utara, Rabu (27/4).
Menurut Dimyati, kemerdekaan Negara Indonesia yang berciri merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, merupakan gambaran tentang negara yang menjunjung hak asasi manusia. "Hak kebebasan dan mengejar kebahagiaan diakui di Negara Kesatuan Republik Indonesia," tuturnya dalam keterangan pers yang diterima Jumat (29/4).
Ia menambahkan, keseluruhan alinea kesatu Pembukaan UUD 1945 merupakan suatu pernyataan tentang hak asasi manusia, yakni kebebasan dan kesetaraan. "Kemerdekaan, perikemanusiaan dan perikeadilan merupakan realisasi hak kebebasan dan kesetaraan," tegasnya.
Dimyati menuturkan, pasal 27, 28, 29, 30 dan 31 dalam batang tubuh UUD 1945 adalah pasal-pasal yang merupakan penjabaran hak asasi manusia. Menurut dia, dari frase-frase yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945, dan beberapa pasal dalam UUD 1945 telah memuat ketentuan mengenai hak asasi manusia.
"Tidak benar bila UUD 1945 yang asli tidak mengakomodasi hak asasi manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, apalagi setelah perubahan UUD," tegasnya. Dalam kesempatan itu, Dimyati menambahkan bahwa UUD 1945 adalah hukum dasar tertulis (basic law), konstitusi pemerintahan negara Republik Indonesia saat ini.
"UUD 1945 disahkan sebagai undang-undang dasar negara oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945," kata dia. Ia memaparkan, sejak 27 Desember 1949, di Indonesia berlaku Konstitusi RIS, dan sejak tanggal 17 Agustus 1950 di Indonesia berlaku UUDS 1950. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kembali memberlakukan UUD 1945, dengan dikukuhkan secara aklamasi oleh DPR pada tanggal 22 Juli 1959.
Menurutnya, pada kurun waktu 1999-2002, UUD 1945 mengalami empat kali perubahan (amandemen), yang mengubah susunan lembaga-lembaga dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. Dimyati juga memaparkan materi tentang sumber kekuasaan dan sistem demokrasi di Indonesia.