Ahad 24 Apr 2016 07:46 WIB

Indonesia Tanda Tangani Perjanjian Paris Tentang Perubahan Iklim

Ilmuwan memperingatkan perubahan iklim dan menghangatnya suhu air di permukaan bumi berpotensi meningkatkan ancaman penyakit yang disebabkan bakteri bagi para perenang di pelabuhan Sydney.
Foto: abc
Ilmuwan memperingatkan perubahan iklim dan menghangatnya suhu air di permukaan bumi berpotensi meningkatkan ancaman penyakit yang disebabkan bakteri bagi para perenang di pelabuhan Sydney.

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menandatangani Perjanjian Paris tentang Perubahan Iklim pada Upacara Tingkat Tinggi Penandatanganan Perjanjian Paris (high-level Signature Ceremony for the Paris Agreement) di Markas Besar PBB, New York, Amerika Serikat, Jumat (22/4) lalu. Menteri LHK bertindak sebagai Co-Chair sesi terakhir penyampaian national statement.

Dalam pidatonya, Siti mengatakan Indonesia dapat bergabung menjadi salah satu dari 55 negara pertama yang melakukan ratifikasi. Hal ini atas pertimbangan pentingnya subyek lingkungan sesuai UUD 1945 untuk perlunya menyediakan lingkungan yang baik bagi warga negara, serta pentingnya dukungan dari DPR RI.

"Indonesia menyadari bahwa kehutanan dan pemanfaatan lahan adalah sektor yang paling signifikan dalam pengendalian perubahan iklim," kata dia.

Apalagi, karena kawasan hutan yang luasnya mencapai 65 perseb dari luas wilayah negara Indonesia. Sekitar 187 juta km2 yang juga merupakan tempat yang kaya akan keanekaragaman hayati.

Dalam pidato yang mendapat sambutan sangat positif tersebut, Situ mengungkapkan langkah-langkah konsisten yang telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dalam rangka pengendalian perubahan iklim.

Perjanjian Paris merupakan kesepakatan global untuk menghadapi perubahan iklim. Komitmen negara-negara dinyatakan melalui Nationally Determined Contribution (NDC) untuk periode 2020-2030, ditambah aksi pra-2020.

Perjanjian Paris didukung 195 negara. Sebanyak 171 negara menandatangani perjanjian, dan 13 negara melakukan deposit instrumen ratifikasi. Berbeda dengan periode pra-2015, yang ditandai hadirnya negara-negara kunci seperti AS dan Australia.

Perjanjian Paris akan berlaku apabila diratifikasi oleh setidaknya 55 negara yang menyumbangkan setidaknya 55 persen emisi gas rumah kaca.  Negara-negara dengan tingkat emisi tinggi seperti AS, Cina, Uni Eropa, Rusia, Jepang, dan India juga menandatangani Perjanjian Paris.

Dia menyebut Indonesia membentuk Badan Restorasi Gambut pada Februari 2016, sebagai langkah cepat Indonesia merespon pasca kebakaran lahan dan hutan 2015. Indonesia juga melanjutkan kebijakan moratorium perizinan pada hutan primer dan lahan gambut.

Indonesia baru-baru ini juga telah menyatakan moratorium perizinan sawit dan tambang. Pemerintah daerah telah merespon positif arahan Presiden ini, yakni Gubernur Aceh memberlakukan moratorium sawit dan tambang di Ekosistem Leuser, dan Gubernur Kalimantan Timur memberlakukan moratorium tambang batu bara.

Indonesia telah melibatkan segenap komponen masyarakat (swasta, kampus, pemerintah daerah, dan berbagai kelompok masyarakat) untuk berpartisipasi dalam aksi terkait iklim, mencakup aspek mitigasi dan adaptasi. Termasuk melalui program nasional yang disebut PROKLIM (program kampung iklim).

“Sejarah telah mencatat, adalah mungkin untuk mencapai pengurangan emisi gas rumah kaca sejalan dengan mencapai pertumbuhan ekonomi, seperti yang telah ditunjukkan oleh sejumlah negara maju," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement