REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Peneliti dari Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (Mappi) Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Dio Ashar Wicaksana menilai sudah semestinya terjadi pembenahan di internal Mahkamah Agung. Dia menjelaskan, pengawasan terhadap penanganan perkara di MA masih belum maksimal.
"Sebenarnya bukan sistem pengawasan yang perlu diperkuat, tapi bagaimana akuntabilitas informasi penanganan perkara di peradilan yang ditingkatkan," kata Dio saat dihubungi Republika.co.id, Jumat (22/4).
Menurut dia, selama ini akuntabilitas informasi terkait perkara di lembaga peradilan belum terimplementasi dengan baik. Padahal, UU Keterbukaan dan infomasi sudah ada. Hal ini yang kemudian memungkinkan adanya celah untuk melakukan tindak suap guna memperoleh kejelasan terkait perkara.
"Ya contohnya sekarang ketika putusan lama didapat, tidak jelas akuntabilitas informasinya, sehingga ada potensi suap untuk meminta putusan tersebut," ujarnya.
Sebagaimana survei Mappi pada 2013 lalu, terdapat derajat keterbukaan pengadilan yang masih minim. Karena itu, dia menilai, apa yang perlu dilakukan sekarang yakni bagaimana instansi penegak hukum memastikan kesediaan data/informasi itu sudah ada dan bisa didapat masyarakat.
"Kalau menerapkan, ya sudah ada aturan, tapi implementasinya belum maksimal," katanya.
Diketahui, aparatur peradilan kembali tersangkut korupsi setelah Panitera Sekretaris Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution ditetapkan tersangka oleh KPK. KPK juga telah menggeledah ruangan kerja dan kediaman pribadi Sekretaris MA Nurhadi pada Kamis (22/4) dan menemukan sejumlah uang didalamnya.