REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pelarian terpidana kasus penyalahgunaan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) berakhir di Shanghai, Cina. Buron kasus BLBI selama 13 tahun itu takluk setelah sebuah operasi khusus dilakukan oleh Badan Intelijen Negara (BIN).
Meski demikian, peneliti intelijen Universitas Indonesia (UI) Ridlwan Habib menyebut sebenarnya BIN tidak punya kewenangan menangkap. Ini lebih seperti mengawal Samadikun yang dipulangkan pemerintah Cina.
"Karena memang tidak ada pasal apapun di Undang-Undang Nomor 17 tahun 2011 tentang Intelijen yang memperbolehkan lembaga ini menangkap,” ujarnya dalam siaran pers, Jumat (22/4).
(Baca juga: Hukuman Penjara Dinilai tak Cukup bagi Koruptor)
Tugas memburu dan menangkap koruptor menjadi ranah aparat penegak hukum seperti kejaksaan dan kepolisian. Polri punya jaringan Interpol, mereka bisa melakukan kerjasama internasional. Operasi intelijen yang diketahui publik membahayakan personel yang terlibat. Identitas dan peran intelijen juga tabu diketahui oleh masyarakat umum.
“Peran maksimal yang bisa dilakukan oleh BIN hanyalah berbagi informasi dengan aparat intelijen setempat. Lalu, info itu digunakan oleh penegak hukum setempat melakukan penangkapan,” kata dia.
Deputi I Bidang Luar Negeri BIN memiliki tugas pokok dan fungsi untuk mengamankan rahasia diplomatik dan bekerjasama dengan pihak pemerintah setempat. Bukan melakukan penangkapan buronan kasus korupsi.
“Bisa saja ada sebuah tim atau semacam satgas dengan salah satu anggotanya dari unsur BIN, tapi jika diambil alih sepenuhnya BIN jelas tidak diatur di undang-undang intelijen,” ujar alumnus S2 Kajian Stratejik Intelijen UI tersebut.
DPR dalam hal ini, Komisi I (bidang hubungan luar negeri) bisa saja melakukan pemanggilan atau meminta keterangan dari Kepala BIN Sutiyoso. Dia mengatakan menangkap koruptor tentu sesuatu hal yang positif namun jangan sampai BIN bertindak melanggar undang-undang.