Jumat 22 Apr 2016 04:54 WIB

Industri Pengolahan Kelapa Kekurangan Bahan Baku

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Winda Destiana Putri
Kelapa
Kelapa

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Umum Himpunan Industri Pengolahan Kelapa Indonesia (HIPKI) Amrizal Idroes mengatakan, industri pengolahan kelapa mengalami defisit bahan baku kelapa mencapai 50 persen.

Kekurangan bahan baku ini menyebabkan utilitas industri pengolahan kelapa juga ikut menurun sekitar 30 persen sampai 50 persen.

Menurut Amrizal, kekurangan bahan baku kelapa tersebut akibat dampak dari el nino dan ekspor buah kelapa segar. Amrizal meminta agar pemerintah melakukan moratorium ekspor kelapa segar, untuk mencukupi kebutuhan bahan baku industri pengolahan kelapa di dalam negeri.

"Kita harus hilirisasi kelapa, jangan dijual ke Cina dan Thailand," ujar Amrizal di Jakarta, Kamis (21/4).

Amrizal menjelaskan, total aset industri kelapa nasional selama 25 tahun terakhir mencapai kisaran Rp 35 triliun dan tersebar di berbagai daerah di Sumatera, Jawa, Sulawesi, dan Kalimantan. Menurut Amrizal, menurunnya produktifitas tanaman kelapa akibat kondisi tanaman yang sudah tua, tidak ada peremajaan, alih fungsi lahan perkebunan, dan pengaruh el nino.

Berdasarkan sensus pertanian, tanaman kelapa produktif di Indonesia mencapai 179 juta pohon dengan asumsi produksi per pohon sekitar 72 butir/tahun. Dengan demikian, total estimasi produksi yakni sekitar 12,9 miliar butir/tahun.

Amrizal mengatakan, Indonesia adalah penghasil kelapa terbesar di dunia disusul oleh Filipina dengan produksi sekitar 44 butir kelapa/tahun.

"Industri pengolahan kelapa menjadi santan instan seperti Kara membutuhkan 3 juta butir kelapa per hari dan Cocomas 2 juta butir per hari. Sedangkan, industri pengolahan kelapa lainnya rata-rata butuh antara 350 sampai 700 butir kelapa per hari," kata Amrizal.

Usulan pelarangan ekspor kelapa tersebut berlandaskan pada usulan kebijakan Perpres No. 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional, dan Permendag No. 44 Tahun 2012.

Selain itu, referensi kebijakan serupa juga sudah dilakukan oleh negara penghasil kelapa lainnya khususnya Filipina. Bahkan, tata niaga kelapa di Thailand sudah lebih maju.

Apabila produksi kelapa sedang tinggi, pemerintah Thailand mengenakan tax 50 persen untuk impor kelapa. Dengan demikian, hasil produksi kelapa bisa diserap untuk hilirisasi dan menciptakan nilai tambah lebih tinggi.

Amrizal mengatakan, dampak pelarangan ekspor tersebut memberikan kepastian bahan baku untuk industri pengolahan dan meningkatkan peluang investasi.

Menurutnya, untuk menyanggah jatuhnya harga di tingkat petani dibutuhkan sebuah mekanisme penetapan harga yang mengacu pada harga CNO Rotterdam.

Harga kelapa di petani saat ini berbeda-beda, yakni mulai dari Rp. 2.500 sampai Rp. 2.700 per kilogram. Padahal, industri membutuhkan patokan harga yang jelas.

"Patokan harga ini juga dapat memberikan kesejahteraan kepada petani. Jangan sampai petani kelapa berganti ke komoditas lain," ujar Amrizal.

Menurut Amrizal, mekanisme penetapan harga tersebut nantinya akan dievaluasi setiap bulan oleh pemerintah dan pengusaha industri pengolahan kelapa. Amrizal mengatakan, jika ekspor kelapa dibiarkan maka akan menghilangkan potensi nilai tambah mencapai 5,8 miliar dolar AS sedangkan pendapatan dari ekspor kelapa yakni hanya 807,6 juta dolar AS.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement