Jumat 22 Apr 2016 06:33 WIB

Panitera PN Jakpus Terjaring OTT KPK, Ini Pesan ICW untuk MA

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Bilal Ramadhan
Panitera PN Jakarta Pusat Edy Nasution (tengah) dengan mengenakan rompi tahanan keluar dari Gedung KPK seusai menjalani pemeriksaan di Jakarta, Kamis (21/4). (Antara/Sigid Kurniawan)
Foto: Antara/Sigid Kurniawan
Panitera PN Jakarta Pusat Edy Nasution (tengah) dengan mengenakan rompi tahanan keluar dari Gedung KPK seusai menjalani pemeriksaan di Jakarta, Kamis (21/4). (Antara/Sigid Kurniawan)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi kepada panitera sekretaris Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Rabu (20/4) kemarin, membuat nama lembaga peradilan kembali tercoreng.

Pasalnya, tertangkapnya Edy Nasution (EN) atas dugaan menerima suap permohonan Peninjauan Kembali, menambah daftar aparatur peradilan yang tersangkut korupsi, setelah sebelumnya salah satu pejabat di Mahkamah Agung.

Peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW) Divisi Monitoring Hukum dan Peradilan Aradila Caesar menilai sudah saatnya MA mengevaluasi sistem pengawasan di internal dan lembaga peradilan di bawahnya. Jangan justru menyalahkan terjadinya kasus ini karena oknum saja.

“Seharusnya dalam kasus ini MA tidak serta merta menyalahkan oknum nakal. Jika itu yang terjadi artinya MA gagal melakukan pembinaan terhadap pegawainya sendiri,” kata Aradila kepada Republika.co.id, Kamis (21/4).

Menurutnya, setidaknya MA perlu bekerjasama dengan institusi lain seperti KPK maupun Komisi Yudisial untuk mengevaluasi sistem pengawasan internal lembaga peradilan. Meskipun pada kasus yang melingkupi pejabat PN Jakpus kali ini bukan dari unsur hakim.

“Setidaknya memetakan persoalan dan ruang gelap praktik korupsi, meski panitera, tentu tak menutup kemungkinan ada keterkaitan dengan hakim, makanya MA harus terbuka dengan KY dan KPK dalam membenahi sistem pengawasan,” ujarnya.

Apalagi diketahui jumlah tenaga pengawas MA dan lembaga peradilan di bawahnya tidak sebanding dengan jumlah tenaga aparatur peradilan yang berjumlah 32 ribu lebih. Menurutnya, jumlah yang tak proporsional itu membuka celah bagi oknum untuk memanfaatkan kelonggaran.

“Karenanya MA jangan berpuas dengan model pengawasan sekarang, harus dievaluasi model pengawasannya,” ujarnya.

Selain itu kata dia, MA juga harus bisa menghilangkan ego sektoralnya untuk bekerjasama dengan lembaga lainnya. Pasalnya menurut dia, MA selama ini belum menganggap KY sebagai mitra strategis namun dipandang sebagai ancaman terhadap independensi kekuasaan kehakiman.

“Masuknya KY dalam pembenahan pengawasan harus dianggap sebagai perbaikan demi citra pengadilan, jangan sampai kasus korupsi di tubuh MA dan pengadilan di bawahnya terus terjadi,” katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement