REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penggunaan materai memicu kontroversi dan polemik. Hal ini muncul ketika Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengusulkannya dalam rancangan peraturan KPU (PKPU) tentang Perubahan Kedua atas Peraturan KPU No. 9 Tahun 2015 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota.
Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI) Jeirry Sumampow mempertanyakan maksud penggunaan materai tersebut. KPU mengatakan bahwa hal itu digunakan sebagai sah dan autentiknya dokumen dukungan.
"Alasan itu tak terlalu tepat sebab KPU juga akan melakukan verifikasi faktual terhadap dokumen dukungan itu," kata dia, semalam.
Menurut Jeirry, kalau sudah menggunakan materai, mengapa harus diverifikasi lagi? Ini menjadi dua hal yang tumpang tindih. Dalam hal ini, sah atau autentiknya sebuah dokumen dukungan akan ditentukan oleh verifikasi faktual yang akan dilakukan KPU.
"Jadi semestinya tak perlu ada penggunaan materai lagi sebab penggunaan materai tak ada urgensinya lagi. Dengan verifikasi faktual penggunaan materai tak ada maknanya lagi," ujarnya.
Selain itu, salah satu alasan mengapa pilkada serentak dilakukan adalah agar biaya lebih murah. Jeirry mengatakan penggunaan meterai yang tak ada urgensinya akan membuat biaya bertambah mahal untuk hal yang tak perlu.
Dia mengajak KPU menghitung.
Jika pemakaian meterai secara kolektif per desa di Jawa Timur, berapa desa lalu dikalikan 6000. Begitu juga di Jawa Barat atau daerah-daeran lainnya. Padahal untuk pengumpulan KTP saja, bakal calon perseorangan sudah harus mengeluarkan uang yang tak sedikit.
"Itupun kalau dilakukan secara kolektif per desa. Kalau dilakukan secara perorangan, maka biaya akan makin mahal lagi," kata Jeirry.