REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kisruh proyek Reklamasi Teluk Jakarta kian memanas. Penolakan yang datang dari berbagai pihak pun semakin banyak. Center for Ocean Develompment and Maritime Civilization atau Commit secara tegas menentang proyek reklamasi di pantai utara Jakarta yang dinilai lebih banyak menimbulkan dampak negatif ketimbang nilai positifnya.
Direktur Ekseskutif Commit Muhamad Karim mengatakan, lahirnya UU No 23 Tahun 2014 mengenai kewenangan atas wilayah laut berpotensi memudahkan kewenangan izin Reklamasi, penggusuran maupun pembangunan tembok laut raksasa (Giant Sea Wall) di Teluk Jakarta.
"Kami menduga UU No 23 Tahun 2014 ini merupakan metamorfosis dari Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil (UUPWP3K) yang pernah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Jika UU ini berlaku defenitif Januari 2017, otomatis reklamasi bakal berjalan tanpa ada yang dapat menghentikannya," ujarnya, Rabu (20/4).
Karim menyebutkan beberapa dampak yang akan terjadi dari reklamasi dan penggusuran di Teluk Jakarta. Contohnya, menghilangkan daerah penangkapan ikan yang mencapai 1.527,34 hektar yang diperkirakan menimbulkan kerugian mencapai Rp 314,5 miliar bagi nelayan tradisional yang menggantungkan hidupnya dari aktivitas perikanan tangkap.
Selanjutnya dampak sosial dimana bakal memperparah defisit sosial dan merusak metabolisme sosial yang menambah angka pengangguran dan kemiskinan. "Masyarakat pesisir Teluk Jakarta secara historis, sosiologis, dan antropologis telah menempati wilayah itu semenjak sebelum Indonesia merdeka. Jadi, penggusuran dan reklamasi bakal menghilangkan warisan budaya dan peradaban maritim. Pemerintah kolonial saja tidak melakukan hal itu. Kenapa pemerintah Indonesia melakukannya?" lanjutnya.
Selain itu, masih ada beberapa dampak negatif lainnya dari proyek reklamasi seperti ketidakadilan ruang, dan dampak ekologi yang juga merugikan masyarakat.