Senin 18 Apr 2016 18:05 WIB

Mengenal Lebih Dekat Tentang Vaksin

Rep: Friska Yolandha/ Red: Dwi Murdaningsih
Aktivitas di laboratorium mikrobiologi Bio Farma.
Foto: Bio Farma
Aktivitas di laboratorium mikrobiologi Bio Farma.

REPUBLIKA.CO.ID, Pertengahan lalu, bayi-bayi di Indonesia ramai-ramai diimbau datang ke pos layanan terpadu (posyandu) dalam rangka Pekan Imunisasi Nasional (PIN). Di posyandu, bayi nol bulan hingga 59 bulan divaksin polio untuk Indonesia bebas polio.

Sebetulnya, seberapa penting vaksin ini untuk tubuh? Vaksinasi adalah aktivitas penanaman vaksin ke tubuh seseorang agar orang itu kebal/imun terhadap penyakit tertentu. Sekretaris Jenderal (Sekjen) Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Piprim B Yanuarso mengatakan, ada dua cara meningkatkan kekebalan tubuh terhadap penyakit (imunisasi), yaitu cara pasif dan cara aktif. Cara pasif salah satunya dengan transfer antibodi dari ibu ke bayi yang dikandungnya.

“Ini seperti antibodi campak. Bayi tidak perlu divaksin campak sampai usia sembilan bulan karena masih memiliki antibodi yang diberikan ibu saat mengandungnya,” ujar Piprim, belum lama ini.

Selain itu, ada juga cara aktif. Upaya ini terbagi menjadi dua, yaitu infeksi alami dan vaksinasi. Infeksi alami berarti kekebalan tubuh terhadap suatu penyakit akan timbul ketika seseorang terkena penyakit itu.

Misalnya, kata Piprim, sakit flu. Seseorang akan kebal dari flu jika sudah pernah sakit flu. Namun, risiko dari kekebalan setelah sakit ini cukup tinggi, apalagi jika penyakit yang diderita penyakit berbahaya. Cara lain adalah dengan vaksin. Vaksin akan memberi infeksi alamiah, tapi tidak berdampak terhadap kesehatan si penerima vaksin, dan orang tersebut kebal dari penyakit.

Sekretaris Perusahaan PT Bio Farma (Persero) Rahman Rustan mengatakan saat ini, 70 persen komponen vaksin sudah berasal dari negeri sendiri. Dia berharap pemangku kepentingan lain turut mendukung pemanfaatan keanekaragaman hayati nasional.

“Sepuluh persen tanaman dunia ada di Indonesia, tinggal bagaimana kita memanfaatkan ini,” katanya.

Keanekaragaman hayati ini juga dapat dimanfaatkan untuk menambah persentase komponen vaksin yang berasal dari dalam negeri. Misalnya, kata Rahman, penelitian dari universitas. Jika penelitian dilakukan sendiri oleh perseroan, waktunya sangat panjang dan biayanya akan sangat mahal. Penelitian ini pun belum tentu berhasil.

Selain itu, diperlukan pula dukungan dari pemerintah. “Karena itu, harus ada perubahan paradigma, penelitian bukan hanya untuk jurnal, tetapi bagaimana riset itu bisa dimanfaatkan langsung oleh perusahaan,” katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement