REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Agama Islam adalah agama yang penuh kasih sayang dan rahmat, bukan agama yang mengajarkan kekerasan, apalagi menyakiti dan membunuh. Artinya, aksi terorisme yang selama ini mengklaim dilakukan umat Islamsalah besar karena tidak sesuai dengan tujuan dan cita-cita Islam.
"Orang kalau mengaku beragama Islam wajib menebarkan kasih sayang kepada siapa pun, apalagi keluarga. Islam juga tidak pernah memaksa-maksa orang untuk mengikutinya. Itu beda sekali dengan para pelaku terorisme yang selalu memaksa orang lain untuk mengikuti paham mereka. Ironisnya, mereka mengaku Islam, tapi paham Islam hanya sepotong-sepotong dan tidak melihat bahwa Islam itu agama yang rahmatan lil alamin," papar Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan, Alumni dan Kerjasama UIN Islam Syarif Hidayaullah DR Zubair, dalam siaran persnya di Jakarta, Selasa (12/4).
Zubair mengakui, dalam Islam terdapat banyak mahzab, akan tetapi antar mahzab itu seragam tentang tujuan dan cita-cita Islam. Dengan demikian, umat Islam tidak sekadar harus saling menghormati, menjunjung tinggi toleransi untuk menciptakan perdamaian, tetapi berkewajiban mewujudkan cita-cita Islam itu yaitu sebagai agama yang rahmatan lil alamin.
Pernyataan Zubair tidak lepas dari fakta adanya upaya-upaya dari kelompok radikal terorisme yang ingin merusak NKRI dengan 'meracuni' generasi bangsa dengan paham sesat yang berdalih agama Islam. Mereka masuk dari berbagai lini dan faktor kehidupan, baik itu pendidikan, dakwah, sosial, ekonomi, politik. Bahkan sekarang propaganda radikal terorisme itu semakin menggila melalui jalur dunia maya atau media sosial.
Menurut Zubair, ada beberapa faktor yang membuat orang 'teracuni' paham kekerasan, apalagi kemudian berujung terorisme. "Tidak hanya pemahaman agama yang sepotong-potong, radikalisme dan terorisme terjadi terjadi karena faktor ekonomi, sosial, psikologi, dan lain-lain," imbuhnya.
Zubair menilai orang-orang 'melenceng' itu seperti merasa dizalimi oleh negara, sehingga mereka memberontak. Mereka merasa sebagai hamba Tuhan sehingga perintah Tuhan harus dilaksanakan. Ironisnya, mereka lupa bahwa negara adalah fasilitas atau strata sosial untuk mewujudkan cita-cita agama dan perintah Tuhan tersebut.
Untuk mengantisipasi ini, Zubair pendidikan adalah media terbaik untuk meluruskan pemahaman-pemahaman keliru itu. Ia menyarankan agar pemerintah membuat standarisasi materi pelajaran agama Islam didasarkan ajaran Islam yang benar dan tidak dibatasi oleh panafsiran tertentu yang justru lebih tertutup dan tidak toleransi karena tidak mau menerima paham dari yang lain.
“Selama ini monitor negara ke lembaga pendidikan lebih fokus ke masalah administrasi saja, tapi kurang melihat substansi materi yang diajarkan. Jadi harus ada akreditasi dalam pengajaran agama Islam. Saya rasa pencegahan lebih penting dalam mencegah masuknya paham radikal terorisme, daripada kita kecolongan,” katanya.
Hal senada diutarakan Ketua Lembaga Dakwan PBNU, Dr. KH. Zakky Mubarak. Menurutnya, paham radikalisme yang mengarah pada terorisme, sebenarnya bukan masalah baru. Tetapi telah terjadi pada awal perkembangan agama-agama dunia. Kelompok ini keliru dan salah dalam memahami agama, sehingga mengarah pada radikalisme. Ada sebagian dari mereka disebabkan pemahaman agama yang sangat sempit, karena pengetahuannya sangat dangkal terhadap ajaran agama.
Sebagian lain ada yang menggunakan agama untuk kepentingan-kepentingan pribadi, kelompok, atau kepentingan politik. Dengan mengatasnamakan agama, mereka meyakini akan dapat mempengaruhi banyak orang, sehingga ambisinya dapat diwujudkan.
“Pencegahannya adalah dengan jalan memberikan pemahaman agama secara utuh, secara integral dan komprehensif sehingga ajaran agama itu tidak dipahami secara parsial yang mengakibatkan terjadi kesalahpahaman. Langkah berikutnya adalah memberikan informasi kepada umat beragama agar tidak mudah diprovokasi oleh kelompok ini, sehingga rencana mereka akan gagal,” ujar Kiai Zakky.
Kaitannya dengan keutuhan NKRI, kata Kiai Zakky, para penganut agama harus menyadari bahwa NKRI adalah merupakan bagian dari kehidupan beragama sehingga wajib dipertahankan dengan sungguh-sungguh. Dengan demikian, kehidupan bermasyarakat, beragama, berbangsa, dan bernegara akan menjadi tenang, dan kekacauan akan dapat dihindari.
Menurutnya, agama dan nasionalisme tidak dapat dipisahkan, karena agama memerlukan tanah air bagi para pemeluknya, dan tanah air juga memerlukan agama untuk membimbing rakyatnya. Dengan rasa nasionalisme dan rasa keagamaan yang tinggi, akan saling menguatkan satu sama lain sehingga dapat membentuk kehidupan bangsa yang unggul, berkualitas, dan dapat bersaing dengan bangsa-bangsa.