REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lahirnya Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Jakarta 2030 membawa angin segar bagi para pengembang yang bermaksud menguasai lahan teluk Jakarta melalui pembangunan reklamasi. Para pengembang dan pihak yang proreklamasi meyakini reklamasi akan berjalan mulus karena telah memiliki payung itu sebagai pengganti Perpres 52 Nomor 1995.
"Seiring dengan berjalannya waktu, adalah PT Agung Podomoro Land (APL) yang berambisi ingin mempercepat pembuatan pulau, namun melalui cara yang cenderung arogan dan mengabaikan aturan atau prosedur yang berlaku," kata pengamat lingkungan perkotaan Ubaidillah.
Dia menjelaskan, sejak 2013 APL telah memasarkan dan menjual properti ilegal konsep Pluit City dipulau G hasil reklamasi. Pemasaran dan penjualan properti Pluit City dikatakan ilegal karena melanggar Peraturan Gubernur Nomor 88 tahun 2008 tentang properti.
"Pemasaran dan penjualan properti ilegal Pluit City yang terus berlanjut hingga kini merupakan bentuk pembangkangan dan arogansi APL kepada negara dan sangat berpotensi merugikan masyarakat dan lingkungan," ujarnya.
Seiring masifnya pemasaran, pada 6 Oktober 2014 PT. Muara Wisesa Samudra (MWS) yang merupakan anak perusahaan APL mengajukan permohonan izin pelaksanaan pembuatan fisik pulau G (Pluit City) kepada Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Sayangnya, hanya selang dua bulan, Ahok mengabulkan permohoan izin MWS tersebut dengan menerbitkan Keputusan Gubernur atau SK.Gub.2238/2014 tertanggal 23 Desember 2014.
Pemberian izin ini tanpa melibatkan pemerintah pusat dan mengabaikan aturan dan prosedur. "Parahnya lagi ternyata di 2015 Gubernur terus mengobral izin pelaksanaan reklamasi pulau lainya (pulau F, I, K)," kata Dewan Pembina Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) DKI Jakarta ini.
Inilah pangkal skandal reklamasi yang berbuntut operasi tangkap tangan (OTT) anggota DPRD DKI Jakarta oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang ramai belakangan ini.