REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Logika pemerintahan Presiden Joko Widodo dinilai meloncat terlalu jauh dalam merespons Panama Papers. Mestinya, persoalan ini dibongkar dan ditindaklanjuti secara hukum oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Dirjen Pajak, Kejaksaan dan Polri.
"Karena kasus Panama Paper ini ada dugaan pencucian uang (money laundry), pengemplangan pajak, dan penghianatan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)," kata Direktur Center for Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi, Kamis (7/4).
- PPATK Bentuk Tim Lacak WNI di Panama Papers
- Soal Panama Papers, Kapolri: Tercantum Belum Tentu Lakukan Korupsi
Menurut dia, Jokowi mestinya mengintruksikan aparat hukum untuk bekerja dan bergerak cepat agar merespons data Panama Papers. "Tapi malahan mendorong dengan memelintir isu Panama Papers ke persoalan rancangan undang-undnag (RUU) Tax Amnesty," kata dia.
Uchok mengingatkan, di Islandia perdana menterinya mundur karena Panama Papers ini. Namun di Indonesia, kata Uchok, Presidennya malah santai-santai saja. "Bahkan ada nama Menteri Rini Soemarno masuk data itu, Presiden diam saja. Ini kan Presiden tidak sensitif terhadap persoalan isu ini," ujarnya.
CBA curiga ada agenda terselebung dalam pengajuan RUU Tax Amnesty mengingat begitu semangatnya pemerintah mendorongnya. CBA juga menilai, makna kerja presiden hanya sebatas membangun infrastruktur saja. Padahal, kerja di bidang hukum juga harus dipikirkan dan ditindaklanjuti.