REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan pemerintah akan memanfaatkan Panama Papers sebagai referensi tambahan dalam usaha meraup pendapatan negara dari pengampunan pajak (tax amnesty).
"Panama Paper akan dijadikan referensi tambahan. Memang banyak individu dan perusahaan yang menyimpan uangnya di perusahaan fiktif di Panama, tetapi berinvestasi di Indonesia," ujar Bambang saat mengisi acara "Sudut Istana" di TVRI, Jakarta, Rabu (6/4) malam.
Pemerintah, seperti juga yang telah disampaikan Presiden Joko Widodo, menggunakan hasil investigasi gabungan jurnalis dari berbagai negara itu sebagai pembanding dengan data dari otoritas pajak negara-negara maju yang tergabung dalam G-20.
Pemerintah berjanji akan segera mengumumkan hasil kajian terhadap dokumen yang telah menggemparkan dunia tersebut. Sementara itu terkait "tax amnesty", pemerintah saat ini masih terus berkomunikasi dengan DPR agar pembahasan RUU Pengampunan Pajak segera bisa diselesaikan dan dapat dimasukkan dalam APBN Perubahan.
Namun, kalaupun tidak bisa diselesaikan sampai pengajuan RAPBNP, pemerintah akan melakukan cara lain untuk para wajib pajak yang masih menyimpan uangnya di luar negeri. "Kami sudah menyiapkan alternatif sumber penerimaan lain yang mirip 'tax amnesty', tetapi pendapatannya akan lebih sedikit," kata Bambang.
Sebelumnya, beredar hasil laporan investigasi mengenai firma hukum asal Panama, Mossack Fonseca, yang di dalamnya terdapat dokumen berisi data perusahaan bayangan di yurisdiksi bebas pajak (tax haven) yang dimanfaatkan untuk menghindari pajak.
Isi dokumen itu mengungkapkan bagaimana jejaring korupsi dan kejahatan pajak para kepala negara, agen rahasia, pesohor, sampai buronan disembunyikan di negara bebas pajak.
Sebelumnya Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro sudah memastikan data yang dimiliki oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk menilai aset para wajib pajak di luar negeri bukan berasal dari laporan investigasi mengenai firma hukum di Panama.