Rabu 06 Apr 2016 06:28 WIB

Komisi Informasi: Kebijakan Reklamasi Dikeluarkan Diam-Diam

Proyek pembangunan dermaga di kawasan Muara Angke berlatar belakang gedung-gedung apartemen yang berdiri di tanah reklamasi, Jakarta, Sabtu (2/4).
Foto: Republika/Aditya Pradana Putra
Proyek pembangunan dermaga di kawasan Muara Angke berlatar belakang gedung-gedung apartemen yang berdiri di tanah reklamasi, Jakarta, Sabtu (2/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi Informasi Pusat (KIP) Abdulhamid Dipopramono mengatakan kebijakan reklamasi di Teluk Jakarta merupakan bukti diabaikannya keterbukaan informasi publik oleh para elite pengambil keputusan. Reklamasi juga menjadi bukti bahwa eksekutif dan parlemen  masih menggunakan paradigma Orde Baru.

Tertangkapnya Ketua Komisi D DPRD DKI M Sanusi dan pimpinan developer ternama oleh KPK yang kemudian menyeret pimpinan developer lain dan anggota DPRD lain dalam reklamasi di Teluk Jakarta tersebut, menunjukkan bahwa pengambilan kebijakan publik sama sekali tidak melibatkan masyarakat.

"Tapi diselesaikan secara kongkalingkong oleh beberapa elite dengan mekanisme suap-menyuap, dan itu berlangsung sejak zaman Orde Baru hingga saat ini, nyaris tanpa perubahan gaya pengambilan kebijakan publik," katanya, Selasa (6/4).

Ia mengatakan, penangkapan tersebut juga membuka mata publik bahwa pengambilan kebijakan publik di DKI hanya dilakukan oleh segelintir elite eksekutif, legislatif, dan pengusaha secara diam-diam. "Ukuran pembangunan untuk kepentingan rakyat pun menjadi bias tak jelas," katanya.

Hal ini, menurut dia, bertentangan dengan asas keterbukaan informasi seperti diamanatkan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), pasal 3. Beleid ini  menyebutkan keterbukaan informasi publik adalah untuk menjamin hak warga negara mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan kebijakan publik beserta alasannya.

Beleid ini pun mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik, meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik, mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu yang transparan, akuntabel, dan dapat dipertanggungjawabkan, serta untuk mengetahui alasan kebijakan publik yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak.

Ia mengatakan, sejak mula, pemerintah  Orde Baru tidak melibatkan publik terkait kebijakan tersebut namun sayangnya situasi tersebut justru dilanjutkan hingga sekarang.

Kebijakan reklamasi diawali dengan dikeluarkannya Keppres Nomor 5/1995 tentang Reklamasi Pantura Jakarta diikuti dengan Perda Nomor 8/1995 yang menabrak RUTR 1985-2005.

Kemudian Perda Nomor 1/2012 tentang RTRW 2030 yang mengubah Perda Nomor 8/1995, izin prinsip Gubernur Nomor 1290 sampai 1295 tahun 2012, SK Gubernur DKI Nomor 2238/2014 yang berisi izin pelaksanaan reklamasi, dan peraturan terkait lainnya. Bahkan telah dilanjutkan tahap konstruksi saat ini padahal tidak melewati konsultasi publik.

"Jangankan terbuka kepada publik, bahkan koordinasi antarkementerian dan antarpemerintah pusat dan daerah pun tidak dilakukan," katanya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement