REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Gerakan Nasional Anti Narkotika (Granat) mendorong UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika perlu direvisi. Ini lantaran karena kewenangan Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam UU itu masih terbatas.
"Dari 155 pasal termasuk pasal penutup dan penjelasan umum, kewenangan BNN hanya 37 pasal," kata Ketua Umum Gerakan Nasional Anti Narkotika (Granat) Henry Yosodiningrat usai menjadi pembicara di acara Sosialisasi Nasional UU 35/2009 Tentang Narkotika di Surabaya, Selasa (5/4).
Menurut dia, kebanyakan pasal dalam UU 35/2009 merupakan kewenangan dari Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). "Pengawasan, ekspor dan impor, izin pengawasan dari kemenkes, padahal itu semestinya BNN," katanya.
Selain itu, lanjut dia, masalah penyidik masih tumpang tindih antara penyidik dari Polri dan BNN. "Dalam UU ini ada kewenangan BNN untuk mengangkat dan memberhentikan penyidik. Artinya ada rekrutmen penyidik. Banyak hal yang perlu diperbaiki," ujar Henry yang juga anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan.
Idealnya, lanjut dia, Pemerintah RI harus menyiapkan rancangan revisi UU 35/2009 secepatnya karena kondisinya mendesak dengan banyaknya kasus narkoba yang kini menjerat hampir di semua lapisan masyarakat. Bahkan sudah ada dari kalangan pejabat pemerintah dan kepala daerah yang tertangkap basah akan kasus narkoba.
"Harus ada gerak cepat, kalau tidak kita kecolongan," katanya.
Ia juga meminta agar pemerintah hati-hati dalam penyusunan revisi UU narkotika agar tidak ada penyusup khususnya dari para sindikat narkotika yang berupaya memasukkan pasal-pasal dalam revisi UU narkotika. "Jika dilihat tahun 90-an, reserse narkotika adalah buangan, tapi sekarang adalah pilihan. Ini dikarenakan tingkat kesulitan jauh lebih tinggi dari tindak pidana umum," katanya.