REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro memastikan data yang dimiliki Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk menilai aset para wajib pajak di luar negeri bukan berasal dari laporan investigasi mengenai firma hukum di Panama (Panama Papers).
"Saya tekankan bahwa data sementara yang kita miliki itu tidak berasal dari sana," kata Bambang saat ditemui di kantor pusat DJP Jakarta, Selasa (5/4).
Bambang menjelaskan, data milik DJP berasal dari data resmi otoritas pajak negara-negara G-20. Namun, pemerintah tidak menutup kemungkinan akan menggunakan informasi Panama Papers sebagai data pembanding.
"Tentunya data ini akan kita kaji. Kita akan melihat apakah valid, kemudian kita juga cek konsistensinya dengan data yang kita miliki," ujarnya.
Bambang mengatakan, pemerintah akan menelusuri kepemilikan aset para wajib pajak di luar negeri yang selama ini belum dilaporkan secara resmi untuk mencari potensi penerimaan pajak dan sebagai bagian dari persiapan kebijakan pengampunan pajak.
"Kita ingin menelusuri aset milik orang Indonesia, apakah itu dalam bentuk uang, apakah dalam bentuk aset tetap yang belum pernah dilaporkan dalam SPT. Itu inti yang menjadi fokus dari DJP tahun ini," ungkapnya.
Direktur Pelayanan dan Penyuluhan Humas Direktorat Jenderal Pajak Mekar Satria Utama menambahkan, Panama Papers bisa menjadi data tambahan untuk menggali potensi pajak baru apabila data yang ditawarkan benar-benar terjamin validitasnya.
Sebelumnya, beredar laporan investigasi mengenai firma hukum asal Panama, Mossack Fonseca, yang di dalamnya terdapat dokumen berisi data perusahaan bayangan di yurisdiksi bebas pajak (//offshore//) yang dimanfaatkan untuk menghindari pajak.
Isi dokumen itu mengungkap bagaimana jejaring korupsi dan kejahatan pajak para kepala negara, agen rahasia, pesohor, sampai buronan disembunyikan di negara bebas pajak.