Ahad 03 Apr 2016 14:46 WIB

FK Unair Dorong Masyarakat Indonesia Sadar Resistensi Antibiotik

Rep: Binti Sholikah/ Red: Winda Destiana Putri
Antibiotik
Foto: pixabay
Antibiotik

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Tim Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Airlangga (Unair) dan RSUD Dr Soetomo mendorong pemerintah untuk membuat regulasi tentang penggunaan antibiotik di tingkat rumah sakit, Puskesmas, dan masyarakat.

Sebab, penggunaan antibiotik yang tidak rasional dapat mengakibatkan kuman di dalam tubuh menjadi resisten terhadap obat, sehingga berdampak tidak baik terhadap tubuh seseorang.

Guru Besar Bidang Mikrobiologi Klinik FK Unair, Kuntaman, mengatakan, prevalensi terhadap MRSA (Methicillin Resistant Staphylococcus aureus) cukup berbahaya.

Berdasarkan hasil studi terbarunya tentang kuman Staphylococcus aureus yang mengalami resistensi pada antibiotik jenis Methicillin (MRSA) di RSUD Dr Soetomo Surabaya, kuman tersebut menginfeksi sebanyak 8,1 persen dari 643 pasien di RSUD Dr Soetomo.

Meski demikian, ia mengakui salah satu kendala untuk mengobati penyakit infeksi yang disebabkan oleh resistensi antibiotik adalah kurangnya validasi data dari seluruh wilayah di Indonesia.

"Selama ini kita kekurangan data mengenai jenis bakteri yang sulit diobati, itu menyulitkan validasi," tutur Kuntaman, dalam keterangan resmi kepada Republika belum lama ini.

Rencananya, temuan tersebut akan ia presentasikan dalam perhelatan European Congress of Clinical Microbiology and Infectious Diseases (ECCMID) di Amsterdam pada 9 April 2016. Riset ini merupakan kolaborasi antara FK UNAIR dan RSUD Dr Soetomo dengan Erasmus Medisch Centrum, Belanda.

Hasil risetnya yang lain, Kuntaman menyampaikan jika kuman penghasil ESBL (Extended-Spectrum Beta-Lactamase) di Indonesia juga cukup tinggi, yakni berkisar 30 persen - 60 persen pada tahun 2013. Hal itu disebabkan oleh penggunaan antibiotik yang tidak rasional dan ketaatan terhadap standar precaution.

Bahkan, kuman penghasil ESBL itu sudah mengalami resisten terhadap antibiotik jenis Carbapenem, yaitu antibiotik yang dapat menghambat segala aktivitas antibakteri. Hal ini muncul dari hasil risetnya bersama Shirakawa dari Universitas Kobe, Jepang.

Dari banyak hasil riset yang dilakukan di bidang resistensi mikroba terhadap antibiotik, Kuntaman yang tergabung dalam tim Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) berencana mengajukan guidelines kepada pemerintah untuk membuat regulasi agar MRSA tidak berbahaya.

Apabila guidelines yang diajukan bersama tim KPRA diterima oleh pemerintah, maka sejumlah peraturan terkait pembatasan penggunaan antibiotik bisa diterapkan. Peraturan yang dimaksud antara lain pelarangan terhadap apotek untuk menjual obat tanpa resep, dan membatasi masyarakat untuk menggunakan obat-obatan tanpa resep dokter.

"Rencananya, tahun ini tim KPRA mengajukan guidelines kepada pemerintah agar MRSA tidak berbahaya dan merugikan BPJS Kesehatan. Tidak banyak masyarakat yang mengetahui bahwa penyakit yang diakibatkan oleh resistensi kuman terhadap antibiotik itu juga membebani BPJS Kesehatan," ungkapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement