REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Pemerintah Kota Bogor, Jawa Barat, belum memutuskan untuk melakukan penurunan tarif angkot seiring dengan turunnya harga bahan bakar minyak bersubsidi mulai 1 April besok.
"Belum ada penurunan, kita akan lakukan kajian dengan Organda nanti," kata Wali Kota Bogor, Bima Arya Sugiarto di Bogor, Kamis (31/3).
Pemerintah pusat menurunkan harga BBM bersubsidi jenis premium sebesar Rp 500 rupiah dari Rp 6.900 menjadi Rp 6.400 per liter. Ketua Organda Kota Bogor, Moch Ishack mengatakan untuk menurunkan tarif angkot di Kota Bogor memerlukan SK Wali Kota. Sedangkan tarif AKDP memerlukan SK gubernur dan AKAP memerlukan SK menteri perhubungan.
"Untuk menurunkan tarif angkutan kota perlu SK dari wali kota, untuk itu Organda akan berkoordiansi dengan aparat tersebut," kata Ishack.
Menurut Ishak, dengan turunnya harga BBM, masalah tarif angkot akan segera dibahas bersama dengan Ketua KKU dan akan berkoordinasi dengan Pemerintah Kota Bogor melalui DLLAJ.
"Kunci penurunan tarif ada di Pak Wali Kota," katanya.
Ishack mengatakan belum ada bahasan terkait penurunan tarif angkot menyusul turunnya harga BBM. Pihaknya berharap rencana penurunan tarif dapat secepatnya dibahas.
"Harapan kita secepatnya, tinggal DLLAJ kapan mengundang Organda," katanya.
Maret 2015, Pemerintah Kota Bogor, telah menaikkan harga tarif angkot menyusul naiknya harga BBM tahun itu. Kenaikan tarif sesuai dengan terbitnya SK Wali Kota Nomor 551.2.45-118 Tahun 2015 mengenai penyesuaian tarif angkutan umum menyebutkan tarif angkot untuk umum dan mahasiswa sebesar Rp3.500 dan pelajar SD/SMP/SLTA sebesar Rp 2.500 per penumpang.
Kenaikan tarif dihitung berdasarkan pertimbangan biaya produksi yang dikeluarkan oleh pemilik angkutan, seiring naiknya harga BBM dan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar sehingga membuat harga suku cadang melambung tinggi.
Menurut Ishack, ketentuan kenaikan tarif angkot sebesar Rp 500 berlaku pada tahun 2015 tersebut berlaku sampai harga BBM premium mencapai Rp 8.500 per liter.
Menurutnya, kenaikan tarif angkot seperti "simalakama" jika dinaikkan maka penumpang angka menjerit dan beralih menggunakan kendaraan pribadi, jika diturunkan supir yang akan menderita karena tuntutan dari biaya hidup, setoran ke induk semang yang tidak ikutan turun.
"Kalau turun masyarakat untung, tapi supir rugi karena setoran ke pemilik tidak turun, harga suku cadang juga tidak turun," katanya.