Rabu 30 Mar 2016 15:57 WIB

Kasus Siyono Jadi Bahan Revisi UU Terorisme

Rep: Dessy Suciati Saputri/ Red: Esthi Maharani
Jenazah terduga teroris Siyono saat diangkat dengan kurung batang
Foto: Antara
Jenazah terduga teroris Siyono saat diangkat dengan kurung batang

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat terorisme dari Institute For Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menilai kasus kematian Siyono setelah ditangkap oleh Densus 88 bisa menjadi bahan kajian revisi UU Pemberantasan Terorisme. Khairul mengatakan, opsi perluasan dan penambahan kewenangan dalam upaya pencegahan dan penindakan perlu dicermati dampak positif dan negatifnya.

Ia juga menilai tatakelola pemberantasan terorisme pun perlu diatur. Seperti, mengatur pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam pemberantasan terorisme, seperti soft approach maupun hard approach.

"Soft approach lebih pada skema mitigasi atas ancaman terorisme, seperti penyiapan daya tahan, stamina dan imunitas masyarakat maupun para penyelenggara pemberantasan terorisme," jelas dia, Rabu (30/3).

(Baca juga: Kasus Siyono, Kontras Minta Kapolri Selidiki Densus 88)

Sedangkan, dalam kerangka hard approach, mengatur kriteria seseorang dapat dikarantina untuk jangka waktu enam bulan meski belum disertai alat bukti yang cukup. Selain itu, juga mengatur hak-hak yang harus diberikan pada tersangka dan keluarganya, selama proses penangkapan, karantina, penahanan hingga dinyatakan bersalah atau tidak.

"Termasuk juga memberi ruang untuk menggugat, kompensasi yang layak, serta pemulihan nama baik jika ternyata salah tangkap," tambah dia.

Tak hanya itu, kewenangan dan kewajiban yang harus dipatuhi oleh penyelenggara pemberantasan terorisme pun perlu diatur secara ketat. Khairul juga menilai, jika terjadi kegagalan dan kelalaian dalam penindakan terorisme maka perlu dilakukan audit kinerja.

Lebih lanjut, pemerintah juga perlu mengatur koordinasi lembaga penegakan hukum seperti TNI dan BIN agar tak terjadi tumpang tindih kewenangan. "Ini agar tidak tumpang tindih, menimalkan ego sektoral maupun konflik kepentingan dan memperjelas rentang kendali, penjuru maupun pembiayaan," jelas dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement