Selasa 22 Mar 2016 19:20 WIB

Ini Curhatan Sopir Taksi yang Dikecewakan Pemerintah

Rep: Ahmad Islamy Jamil/ Red: Teguh Firmansyah
Ribuan sopir taksi melakukan aksi di depan gedung DPR, Jakarta, Selasa (22/3).
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Ribuan sopir taksi melakukan aksi di depan gedung DPR, Jakarta, Selasa (22/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aksi unjuk rasa yang digelar ribuan pengemudi taksi di sejumlah lokasi di Jakarta, Selasa (22/3), tidak saja menjadi wujud kecemburuan atas kehadiran layanan angkutan umum pelat hitam berbasis aplikasi dalam jaringan (daring), tetapi juga sebagai bentuk kekesalan mereka terhadap pemerintah yang terkesan mendiamkan persoalan ini.

Salah seorang peserta unjuk rasa, Anggito (31 tahun), mengatakan, selama ini pengemudi taksi tidak pernah menuntut macam-macam kepada pemerintah. Sepanjang sejarah yang dia tahu, baru kali ini sopir taksi melakukan demonstrasi dengan jumlah massa sangat besar.

"Permasalahan yang kami hadapi sekarang benar-benar serius karena tidak hanya menyangkut urusan perut kami, tetapi juga puluhan ribu anak dan istri para sopir taksi resmi," ujar Anggito kepada Republika.co.id.

Ia mengungkapkan, sejak bermunculannya angkutan umum pelat hitam daring, penghasilannya dari mengemudi taksi tidak pernah lagi mencapai target. Dulu, ia biasa menyetor ke kantor Rp 300 ribu setiap harinya. "Sekarang, untuk menyetor Rp 150 ribu per hari saja sulit rasanya," kata sopir Taksi Express itu.

Anggito menilai, pemerintah terkesan tidak mau ambil pusing dengan masalah yang terjadi saat ini. Padahal, persoalan tersebut jelas-jelas mengancam sumber penghidupan ratusan ribu pengemudi angkutan umum resmi seperti dirinya.

Baca juga, Pakar: Pemerintah Dalang Konflik Taksi Konvensional dan Online.

Penilaian Anggito muncul bukan tanpa sebab. Desember lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pernah diingatkan untuk melarang angkutan pelat hitam daring beroperasi lantaran menyalahi Undang-Undang Transportasi. Akan tetapi, Jokowi malah meminta agar UU tersebut diubah saja untuk menoleransi pelanggaran yang mereka lakukan.

"Itu sama saja seperti ada mobil masuk ke area yang terpancang rambu-rambu forbidden (dilarang masuk), tapi polisi tidak mau menindak si pemilik mobil, malah mengatakan rambu-rambunya yang harus diganti," ucap Anggito.

Kalaupun UU Transportasi hendak diubah, kata dia, pemerintah semestinya tidak membiarkan angkutan umum daring pelat hitam itu beroperasi hingga keluarnya UU yang baru. Ia pun meminta pemerintah bersikap tegas dan adil dalam menerapkan regulasi sehingga tak ada pihak yang dirugikan.

"Sekadar Anda tahu, taksi kami kalau telat uji kir saja langsung dikandangin sama Dishub (Dinas Perhubungan). Sementara, taksi-taksi pelat hitam itu jelas-jelas tidak punya kir, tapi dibiarkan berkeliaran begitu saja. Ini jelas enggak adil," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement