Rabu 16 Mar 2016 16:21 WIB

Kontras Nilai Penegakan Hukum Karhutla Melempem

Rep: Intan Pratiwi/ Red: Bayu Hermawan
Kebakaran hutan
Foto: blogspot
Kebakaran hutan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menilai penegakan hukum dalam kasus kebakaran hutan dan lahan masih belum maksimal.

Diantara banyak korporasi yang bermasalah dalam kebakaran hutan, hingga saat ini baru 10 berkas yang dilimpahkan ke tingkat kejaksaan. Selebihnya, sekitar 72 kasus yang dilimpahkan ke kejaksaan menjerat perorangan.

Peneliti Kontras, Mulki Mahmun menjelaskan dari hasil temuan Kontras dari 205  laporan atas nama perorangan dan 19 korporasi baru sebagian yang masuk dalam kejaksaan. Provinsi Riau, 4 koorporasi dan 4 perorangan.

Sedangkan Jambi, satu koorporasi dan 11 perorangan. Sedangkan di Kalimantan Selatan ada dua korporasi dan 7 perorangan. Kalimantan Tengah, 40 perorangan. Kalimantan Barat, lima perorangan tanpa ada koorporasi.

"Sebenarnya masih banyak koorporasi yang belum masuk dalam tahap penyidikan. Ini menyasar pada koorporasi yang besar. Ini ada banyak kendala, kalau dari pengakuan polisi mereka kesulitan dalam menggali kasus. Juga minimnya saksi ahli pidana lingkungan sehingga sulit menjerat mereka," ujar Mulki saat ditemui Republika.com, Rabu (16/3).

Ia juga menilai, banyak nya kasus yang menjerat perorangan membuktikan bahwa penindakan hukum atas kasus kebakaran hutan tidak menyasar pada bos bos besar dari korporasi tersebut. Banyak diantara korporasi besar yang malah tidak tersentuh dan malah menumbalkan perorangan yang rentan akan menjadi tumbal.

"Jadi bisa jadi, mereka ini hanya orang bawahannya atau orang kecil, mereka rata rata dituntut selama enam bulan hingga dua tahun," katanya.

Selain itu, lemahnya penegakan hukum atas kasus kebakaran hutan ini juga hanya memperakrakan soal kebakaran hutannya. Para tersangka pelaku kebakaran hutan hanya dijerat dengan UU Nomer 39/2014 soal perkebunan dan UU No.32/2019 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Mulki menilai, harusnya penegakan hukum juga mempertimbangkan soal akibat dari kebakaran hutan tersebut. Aspek kesejahteraan sosial masyarakat serta pelanggaran ham akibat dari kebakaran hutan ini masih belum tersentuh dalam penegakan hukum.

"Hak hak korban dilupakan, padahal dari peristiwa tersebut 17 orang meninggal dunia, ini gak ada dalam penuntutan. padahal mereka para korporasi ini harusnya bertanggung jawab atas kejadian ini," jelasnya.

Sementara Wakil Koordinator Bidang Strategi dan Mobilisasi Kontras, Puri Kencana Putri menilai harusnya para penegak hukum mengacu pada putusan MA nomer 36/KMA/2/2013 tentang oemberlakuan penanganan lingkungan. Sebuah perkara harusnya diputus atas tiga prinsip.

Pertama, prinsip proses transparasi. Proses penegakan hukum mestinya bisa diikuti oleh masyarakat sipil. Kedua, para penegak hukum harus memakai prinsip hukum lingkungan. Hakim harus paham betul soal pidana hukum lingkungan. Prinsip ketiga, asas keadilan.

"Jadi, perspektif para penegak hukum juga harus menyasar pada manusianya, bukan hanya sekedar aspek hukum. Ahli pidana linkungan harusnya bisa diperkaya, sehingga keputusan bukan hanya sekedar permasalahannya saja, tetapi juga memikirkan dampak dari kasus tersebut," ujar Puri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement