Rabu 16 Mar 2016 14:30 WIB

Tito: Rehabilitasi Terorisme di Indonesia Kurang Bagus

Rep: Halimatus Sa'diyah/ Red: Bayu Hermawan
Irjen Polisi Tito Karnavian mengucapkan sumpah jabatan sebagai Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, Selasa (16/3).
Foto: Antara/Yudhi Mahatma
Irjen Polisi Tito Karnavian mengucapkan sumpah jabatan sebagai Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, Selasa (16/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Tito Karnavian menilai program rehabilitasi dalam penanganan terorisme di Indonesia masih lemah. Hal ini terbukti dari masih banyaknya tahanan kasus terorisme yang justru merancang serangan dari balik penjara.

"Proses rehab kita kurang bagus. Bayangkan, saya pernah menangani operasi kamp militer di Aceh. Itu semua tokoh-tokohnya merencanakan dalam LP Cipinang pada saat itu. Ada Abu Bakar Baasyir, Aman Abdurrahman, Iwan Darmawan Rois, semua di situ. Dul Matin pun datang ke situ," ujarnya usai dilantik sebagai kepala BNPT yang baru, Rabu (16/3).

Tak hanya itu, Tito mengatakan, berdasarkan informasi yang didapatnya dari Densus 88, serangan bom Thamrin direncanakan dari dalam penjara Nusa Kambangan.  Oleh karena itu, ia memandang perlu ada pendekatan khusus yang diterapkan dalam program rehabilitasi bagi tahanan kasus terorisme.

Hal ini agar mereka tidak kembali melakukan aksinya atau bahkan memengaruhi orang untuk ikut dalam kelompok radikal. Menurutnya, rehabilitasi pada pelaku pun harus disesuaikan dengan peran masing-masing orang dalam jaringan. Dalam jaringan terorisme, kata dia, ada yang dinamakan sistem lapisan.

Kelompok inti adalah mereka yang paham radikalnya sudah sangat tinggi. Kemudian, ada juga kelompok operatif yang tingkatan radikalnya di bawah kelompok inti. Di bawah kelompok operatif, ada kelompok pendukung dan simpatisan.

"Kita harus berikan treatment berbeda antara satu lapisan ke lapisan lainnya. Jangan dijadikan satu. Tapi teknisnya seperti apa, saya tidak akan jelaskan karena masuk domain intelijen," ujar mantan Kapolda Metro Jaya tersebut.

Untuk kelompok inti teroris, Tito menilai, pemerintah perlu membentuk semacam penjara dengan pengamanan sangat ekstra di mana tahanan tak bisa melakukan komunikasi dengan bebas.

Dia menilai hal ini perlu dilakukan karena ada juga teroris garis keras yang tak bisa lagi diubah pendiriannya. Penjara dengan ekstra pengamanan diharapkan dapat mengunci mereka sehingga tak ada kesempatan untuk merancang serangan dari balik sel.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement