REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki menilai korupsi dan demokrasi memiliki korelasi yang kuat. Semakin tinggi tingkat kualitas dan kematangan demokrasi, maka akan semakin rendah praktik korupsi yang terjadi.
"Abuse of Power akan tumbuh subur dalam sistem tertutup dan hukum sangat lemah. Coba lihat di negara yang demokrasinya matang, maka kemungkinannya terjadinya korupsi makin kecil," kata Teten dalam seminar nasional Anti-Corruption and Democracy Outlook 2016 di Jakarta, Selasa (15/3).
Menurut Teten, korupsi sering kali terjadi di negara dengan tingkat demokrasi lemah. Selain itu, kata dia, korupsi juga terjadi di negara yang baru memulai proses demokrasi.
"Seperti yang sekarang terjadi di Indonesia. Hal itu juga tidak terlepas dari tingkah laku elite pemerintahan," ujar Teten.
(Baca juga: Teten Masduki: Ada Perlawanan Terhadap Pemberantasan Korupsi)
Teten menilai terjadinya praktik persekongkolan jahat antara elite politik dengan konglomerat dalam mengatur pembiayaan negara menjadi pintu masuk menjamurnya korupsi. Korupsi, lanjut Teten, juga masih tumbuh subur dalam sistem demokrasi yang masih muda dan belum sempurna.
"Bahkan pembangunan demokrasi akan mengalami kegagalan oleh praktik korupsi yang melampaui batas," katanya.
Untuk itu, ia berharap masyarakat ikut berperan dalam pemberantasan korupsi. Ia juga menambahkan, saat ini pemerintah terus berupaya meminimalkan praktik korupsi.
"Salah satu upaya yang dilakukan ialah dengan memperbaiki birokrasi dan tata kelola pemerintahan," ujarnya.
Saat ini, tambah Teten, Presiden Joko Widodo tengah menggunakan pendekatan berbeda dalam proses pembenahan tersebut. Jokowi, kata dia, hadir dengan kesederhanaan, tidak punya konflik kepentingan sehingga kehadiran beliau di Istana bisa saya katakan membuat Istana relatif bersih dari korupsi.