Sabtu 12 Mar 2016 21:40 WIB

Rektor UMB: Supersemar Payung Hukum Bagi Tegaknya Indonesia

Naskah Supersemar
Foto: IST
Naskah Supersemar

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA –  Keputusan politik Presiden Soekarno menerbitkan Surat Perintah 11 Maret 1966 yang kemudian lebih dikenal sebagai Supersemar dinilai sebagai momentum mempertahankan Pancasila.

“Saya ingin menegaskan Supersemar merupakan payung hukum yang fundamental bagi tegaknya Indonesia. Karena melalui Supersemar inilah awal sikap politik Indonesia semakin tampak, menolak ideologi Komunisme hidup di bumi pertiwi,” ujar Rektor Universitas Mercu Buana (UMB), Arissetyanto Nugroho dalam acara 50 Tahun Supersemar di kampus UMB, Jakarta, Jumat (11/3).

Acara Peringatan 50 Tahun Supersemar itu juga dihadiri mantan wakil presiden Try Soetrisno dan mantan ketua MK, Mohammad Mahfud MD. Sejumlah tokoh nasional juga turut menghadiri acara tersebut.

Dalam sambutannya Rektor UMB juga menegaskan, sikap politik tersebut terlihat pada ditetapkannya Supersemar sebagai Ketetapan MPRS No.IX/MPRS/ Tahun 1966. Berbekal Ketetapan MPRS No.IX Tahun 1966 itulah, kata dia, perjuangan melawan segala bentuk ideologi Komunisme bergulir. Bahkan menjadikan komunisme sebagai bahaya laten yang dapat kembali hadir di bumi pertiwi.

Kondisi tersebut, menurutnya, perlu menjadi pemahaman bersama. Bahwa rangkaian perlawanan terhadap Komunisme, lanjut dia, bukan hanya pada wujud pergolokan fisik saja, tetapi juga pertarungan politik yang sangat hebat. 

"Menjadikan Supersemar sebagai Ketetapan MPRS adalah prestasi pertarungan ideologi yang luar biasa," tegas Arissetyanto.

Ia memaparkan, data pustaka Bank Indonesia mencatat, pada periode 1960-1965 perekonomian Indonesia menghadapi masalah yang berat sebagai akibat dari kebijakan pemerintah yang lebih mengutamakan kepentingan politik.  

Menurut dia, doktrin ekonomi terpimpin pada kepemimpinan era itu telah menguras hampir seluruh potensi ekonomi Indonesia akibat membiayai proyek-proyek politik pemerintah. Sehingga tidak mengherankan, jika pada periode ini pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) sangat rendah, laju inflasi sangat tinggi hingga mencapai 635 persen pada 1966, dan investasi merosot tajam.

“Pada kondisi politik juga nyaris sama, gerakan-gerakan politik mengalir tanpa aturan yang kuat. Berbagai kelompok elit berjuang mendapatkan posisi penting melalui Partai Politik. Hingga bermunculan begitu banyak partai politik,” tegasnya.

Kesadaran terhadap kondisi itulah, sambung dia, membuat MPRS kembali menetapkan langkah maju. Dengan menerbitkan Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 pada tanggal 12 Maret 1967 pasal 4 memutuskan dan menetapkan dan mengangkat Jenderal Soeharto sebagai Pengemban TAP MPRS No.IX/MPRS/1966 sebagai Pejabat Presiden.

Dari keputusan politik MPRS menunjuk Pejabat Presiden menjadi tonggak baru perjalanan Pemerintahan. Sebagai Pejabat Presiden, kata dia, Jenderal Soeharto pun segera menyusun berbagai langkah-langkah strategis. Bahkan mengalir menjadi terobosan kebijakan yang fundamental.

“Antara lain kebijakan yang penting adalah perampingan partai politik, menyusun dokrin pembangunan melalui Trilogi Pembangunan, serta banyak lagi,” tutur Arissetyanto.

Hal tersebut, kata dia, menjadi bukti implikasi Supersemar bagi Peradaban Indonesia. Pihaknya berharap pemerintah harus lberjuang keras menata kondisi sosial, politik dan ekonomi nasional secara baik. Agar menjadikan Indonesia kembali sebagai Macan Asia. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement