REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah dan DPR telah sepakat untuk merevisi Undang Undang tentang tindak pidana terorisme. Draf revisi telah diserahkan pemerintah dan akan segera dibahas bersama dengan DPR.
Poin revisi salah satunya mengatur soal kewenangan Polri melakukan penangkapan pada terduga teroris jika ditemukan indikasi kuat. Kemudian, di poin lainnya, Kepolisian bisa melakukan penahanan sementara hingga enam bulan.
Di satu sisi, semangat memberantas terorisme dengan menindak dini terduga pelaku diperlukan demi mencegah serangan teror terjadi. Namun, di sisi lain, pencegahan dini menjadi dilema apabila dihubungkan dengan demokrasi.
Pengamat terorisme dari Institute For Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menilai, adanya kewenangan Polri untuk menindak dini terduga teroris membuka peluang salah tangkap yang lebih lebar. Kepolisian dikhawatirkan melakukan upaya hukum prematur hanya berdasarkan informasi dangkal dan sumir yang sulit dibuktikan.
Lagipula, kata Fahmi, revisi UU terorisme tak menjelaskan upaya apa yang akan dilakukan polisi pada si tersangka yang berada dalam masa penahanan sementara itu.
"Apakah itu untuk memperoleh pengakuan, alat bukti, atau bahkan semacam program cuci otak? Tak jelas," katanya pada Republika, Rabu (9/3).
Fahmi berpendapat, mestinya harus ada juga pasal yang mengatur hal-hal yang harus dilakukan jika ternyata kepolisian tetap tak dapat menemukan alat bukti cukup dalam kurun enam bulan itu. Hal ini penting agar hak-hak tersangka terlindungi dan nama baiknya dapat dipulihkan.
Tak hanya itu, dia mengatakan, tersangka harusnya juga berhak mendapatkan ganti atas kerugian materi dan nonmateri akibat salah tangkap atau tak terbukti terlibat dalam kegiatan teror.
"Untuk mencegah malpraktek upaya pemberantasan terorisme, pemerintah dan DPR harus terus diingatkan betapa pentingnya menjaga spirit demokrasi, kebebasan sipil, dan rule of law dalam pembahasan revisi itu," kata dia.