Selasa 08 Mar 2016 08:10 WIB

Gerindra Minta RUU Pengampunan Pajak Dikaji Ulang

Rep: Qommarria Rostanti/ Red: Winda Destiana Putri
tax aamnesty.ilustrasi
Foto: tribune.com.pk
tax aamnesty.ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Langkah Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang terkesan ngotot mengesahkan aturan pengampunan pajak atau RUU Tax Amnesty sepertinya tidak akan berjalan mulus.

Pasalnya, Partai Gerindra meminta agar RUU yang diusulkan oleh pemerintah tersebut dikaji ulang kembali.

"Jangan sampai menguntungkan pengemplang pajak," ujar Ketua Harian Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Gerindra Moekhlas Sidik dalam siaran persnya, semalam.

Moekhlas menjelaskan, RUU Tax Amnesty pada dasarnya bertentangan dengan konstitusi terutama pada pasal 23 dan 23A UUD 1945 tentang Pengelolaan APBN dan Pemungutan Pajak. Dimana, pemungutan pajak dalam proses APBN sudah ada sistem hukumnya yang bersifat memaksa, bukan mengampuni.

"RUU itu harus memikirkan keadilan bagi semua, karena Tax Amnesty akan berdampak bukan hanya sekarang, tetapi generasi penerus bangsa," kata dia.

Tax Amnesty tersebut akan semakin memperlebar jarak kemiskinan dan kesejahteraan antara si kaya dengan si miskin karena sistem ini tidak adil.

Hal tersebut tercermin dari pengampunan yang diberikan dalam bentuk sanksi pidana perpajakan, dan sanksi dengan berupa uang.

Masyarakat biasa merasa membayar pajak sesuai dengan batasnya, namun orang kaya mendapatkan perlakuan khusus dari pemerintah.

Jelas bahwa RUU ini menguntungkan elit dan semakin memiskinkan si miskin. Aturan tersebut bertolak belakang dengan sistem hukum yang menyebut semua warga negara sama di depan hukum. Dan semua warga negara wajib membayar pajak sesuai dengan ketentuan.

Seperti diketahui, pemerintah mengusulkan RUU Tax Amnesty  kepada DPR RI untuk dikaji dan disahkan menjadi UU. Presiden Joko Widodo (Jokowi) berdalih, Tax Amnesty digunakan untuk membangun infrastruktur yang membutuhkan anggaran sekitar Rp 5.000 triliun. Pembangunan tersebut tak dapat dilakukan kalau hanya mengandalkan APBN.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement