REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat kekerasan pada perempuan meluas, tidak hanya terjadi ranah domestik atau perkawinan, tetapi juga ranah komunitas dan negara.
"Ini terkait dengan peraturan daerah yang diskriminatif, peristiwa intoleransi agama, kebijakan hukuman mati, penggusuran, konflik politik, yang semuanya berdampak langsung pada pelanggaran hak perempuan," ujar Ketua Komnas Perempuan Azriani dalam peluncuran Catatan Tahunan, Senin (7/3).
Pihaknya mencatat dari total laporan 321.752 kasus, dalam ranah domestik adalah kasus perkosaan sebanyak 2.399 kasus, pencabulan sebanyak 601 kasus dan pelecehan seksual sebanyak 166 kasus. Dalam ranah komunitas, Azriani menuturkan terdapat 5.002 kasus dan kekerasan seksual pada perempuan mendominasi sebanyak 61 persen dari kasus tersebut.
Komnas Perempuan juga memberikan perhatian serius pada pemberitaan media mengenai pekerja seks daring, mucikari dan artis pekerja seks, kasus cyber crime, iklan biro jodoh berkedok syariah serta kasus perbudakan seks anak perempuan oleh ayah mertua di Tapanuli Selatan.
"Terdapat juga pelarangan diskusi dengan tema LGBT di sejumlah universitas serta kekerasan seksual pada mahasiswi oleh seorang dosen," tutur Azriani.
Terakhir dalam ranah negara, yakni aparat negara sebagai pelaku langsung atau melakukan pembiaran saat terjadi pelanggaran HAM Perempuan, diantaranya ditemukan pemalsuan akta nikah sehingga terjadi penjualan manusia serta kasus penganiayaan oleh oknum polisi.
"Kekerasan yang dilakukan negara cenderung sedikit dilaporkan, padahal data kualitatif negara sebagai pelaku langsung atau bentuk pembiaran muncul dalam berbagai bentuk," kata Azriani.