REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Melawan calon pejawat (incumbent) Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta haruslah secara head to head atau hanya terdiri dari dua pasangan saja. Jika ajang lima tahunan tersebut diikuti oleh tiga atau banyak pasangan, maka akan menguntungkan Ahok.
Ahok diprediksi sudah mengantongi 30 persen suara. Suara di luar angka tersebutlah yang sebenarnya diperebutkan para pesaingnya. Kalau ada tiga atau lebih pasangan, maka suara tersebut akan terpencar.
“Justru mereka (kandidat pesaing Ahok) sendiri yang bersaing. Ahok jadi tidak ada saingan,” ujar Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti kepada Republika.co.id, Kamis (3/3).
Selain itu, pesaing Ahok sebaiknya tidak menggunakan gaya konvensional dalam persaingan memperebutkan posisi DKI 1. Partai politik maupun kandidat lain yang akan melawan Ahok harus mempunyai cara kreatif.
“Kalau cara pendekatannya lewat iklan, kata-kata bombastis, atau lewat isu SARA, maka sudah ketinggalan ‘kereta’. Ahok tidak akan terhadang,” kata Ray.
Melawan Ahok harus dengan gaya Ahok. Bukan dengan gaya ceplas-ceplos-nya, melainkan lewat perilaku bersih, tegas, dan tidak ada kompromi apabila menghadapi pelanggaran konstitusi. Jika sudah ada pesaing seperti ini, maka tinggal masyarakatlah yang melihat dan menentukan mana calon berkualitas.
(Baca juga: Aksesibilitas Yusril di Pilgub DKI Tergolong Rendah)