REPUBLIKA.CO.ID, INDRAMAYU -- Cuaca buruk dan gelombang tinggi di laut yang terjadi sejak Januari 2016, membuat hasil tangkapan nelayan di Jabar merosot.
''Penurunan hasil tangkapan nelayan mencapai 50 persen dari biasanya,'' ujar Kepala Bidabg Perikanan Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Jabar, Royani kepada Republika, Kamis (3/3).
Royani menyebutkan, kondisi tersebut tak hanya dialami para nelayan di pantai utara (pantura) Jabar. Namun, juga di pantai selatan Jabar.
Menurut Royani, kondisi itu dialami para nelayan yang melaut menggunakan kapal berukuran kurang dari 20 gross ton (GT). Mereka tak berani melaut karena cuaca buruk dan gelombang tinggi bisa membuat kapal mereka tenggelam.
Jikapun ada nelayan yang nekat melaut demi memenuhi kebutuhan hidup, mereka hanya bisa berlayar yang tak jauh dari daratan. Dengan demikian, jika cuaca buruk dan gelombang tinggi tiba-tiba datang, mereka bisa segera kembali ke darat.
''Pasokan ikan dari nelayan di tempat pelelangan ikan (TPI) pun jadi menurun,'' terang Royani.
Seperti misalnya di TPI Mina Bahari Desa Eretan Kulon, Kecamatan Kandanghaur, Kabupaten Indramayu. Dalam kondisi normal, pasokan ikan di TPI itu mencapai 25 ton per hari. Namun sejak Januari lalu, pasokan ikan dari nelayan rata-rata sepuluh ton per hari.
''Pasokan ikan akan kembali normal jika cuaca sudah membaik. Saat ini nelayan hanya bisa menunggu,'' terang pria yang juga menjabat sebagai Ketua KUD Mina Bahari tersebut.
Ketika disinggung mengenai bantuan kapal, Royani menyatakan, para nelayan sangat membutuhkannya. Tak hanya itu, nelayan pun sangat memerlukan pelatihan keterampilan pengoperasian kapal besar.
Terpisah, Ketua Serikat Nelayan Tradisional (SNT), Kajidin menyatakan, selama musim cuaca buruk dan gelombang tinggi, para nelayan mengalami masa paceklik. Pasalnya, mereka tak bisa melaut karena takut mengalami kecelakaan di laut.
''Untuk membuat asap dapur tetap mengepul, banyak di antara nelayan yang harus beralih profesi,'' tandas Kajidin.