REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menyikapi isu LGBT yang populer dalam masyarakat Indonesia sebagai homoseksual yang terus menyita waktu dan energi, Laznas BMH bekerja sama dengan DPW Hidayatullah Jabodetabek menggelar Seminar Kebangsaan.
Seminar tersebut juga turut menghadirkan Senator DPD DKI Jakarta Fahira Idris dan Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri. Fahira Idris dalam paparannya menegaskan bahwa keluarga adalah elemen terpenting sebuah bangsa dan negara.
"Bagi saya, memang keluarga itu merupakan miniatur sebuah bangsa dan negara. Karena, pada hakikatnya sebuah bangsa terbentuk dari keluarga-keluarga," ucapnya dalam keterangan resmi yang diterima Republika.co.id belum lama ini.
Oleh karena itu, Fahira yang juga anggota Gerakan Indonesia Beradab itu berharap agar negara segera memiliki UU Ketahanan Keluarga dan UU Anti-LGBT. Sementara itu, Reza berpendapat bahwa melihat LGBT tidak bisa lepas dari fakta-fakta yang pernah ada.
"Tahun 65 Bung Karno itu sudah menulis atau bercerita serta melihat langsung tentang bagaimana kegilaan LGBT di dalam penjara. Tahun 20-an dia alami itu, kemudian dia tuangkan dalam sebuah biografinya (yang berjudul) Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat. Pertama kali terbit tahun 1965," ujarnya menjelaskan.
Dijelaskan lebih lanjut dalam tulisan tersebut terdapat satu bab di mana Bung Karno bercerita panjang lebar tentang ketakutannya. Bung Karno lebih takut pada gay, lebih takut pada homoseksual daripada berhadapan dengan imperialis Belanda.
"Bung Karno lihat sendiri dengan mata kepala dia bagaimana kemudian kegilaan-kegilaan itu berada dalam situasi terkurung, berada dalam situasi yang sangat buruk membuat manusia kehilangan akal sehatnya, dan memilih untuk melakukan (maaf) hubungan seksual dengan sesama jenis di dalam penjara," paparnya.
Menurut dia, itu merupakan literatur berkualitas pertama di Indonesia yang bicara tentang kengerian yang dimunculkan oleh homoseksualitas.
Namun, pegiat Gerakan Indonesia Beradab itu menyayangkan sikap bangsa Indonesia yang tidak pernah bersikap serius dalam menangani apa yang menjadi fakta mengerikan yang dialami oleh orang sekelas Bung Karno.
"Tapi, sejak tahun 1965, buku itu terbit sampai bertahun-tahun kemudian. Menurut saya, tidak pernah ada penyikapan serius bagaimana menanggulangi homoseksualitas, terutama sekali di dalam penjara," katanya.
Advertisement