Senin 29 Feb 2016 14:02 WIB

Pilgub DKI tanpa Ridwan Kamil Diprediksi tak Dinamis

Wali Kota Bandung Ridwan Kamil.
Foto: Amri Amrullah/Republika
Wali Kota Bandung Ridwan Kamil.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wali Kota Bandung Ridwan Kamil memberi keputusan. Pria yang akrab disapa Emil itu memastikan tak maju dalam pemilihan orang nomor satu di Jakarta. Sikap Ridwan Kamil membuat pemetaan Pilgub DKI 2017 diprediksi menjadi terpolarisasi makin tajam. 

Direktur Centre for Indonesian Political and Social Studies (CIPSS). Mohamad Hailuki, menilai, peta kekuatan di pilgub DKI akan terbelah hanya menjadi dua kekuatan utama, yakni kekuatan Pro-Ahok dan Anti-Ahok.

"Alhasil, faktor absennya Ridwan Kamil membuat konstelasi menjadi tidak dinamis," ujarnya, Senin (29/2).

(Ridwan Kamil Putuskan tidak Maju Pilkada DKI Jakarta)

Sebelum Ridwan Kamil memastikan untuk tak ikut Pilgub DKI, kata Luki, peta kekuatan yang masih tersaji di publik cukup beragam. Ridwan Kamil, jelasnya, digadang-gadang bisa mewakili beberapa golongan sekaligus yaitu nasionalis, santri modernis & kaum urban. 

Pengamat Politik Universitas Nasional itu menyebut, jika saat ini Ahok mewakili kelompok nasionalis, maka kekuatan partai nasionalis akan cenderung merapat seperi PDIP, Hanura dan Nasdem. Di saat bersamaan, sambungnya, kompetitor Ahok akan memosisikan diri sebagai representasi kelompok santri modernis. 

"Partai-partai berbasis santri (PAN & PKS) akan melakukan konsolidasi untuk berkoalisi dengan partai nasional religius seperti Demokrat dan Gerindra," jelasnya.

(Baca: Adhyaksa tak Gentar Tetap Maju di Pilgub DKI)

Khusus untuk PKB yang memiliki kekhasan Islam tradisional, lanjutnya, berpeluang merapat mendukung Ahok. "Dengan catatan, belum memperhitungkan posisi Golkar dan PPP yang masih dirundung persoalan internal," kata Luki. Kendati demikian, kata Luki, PPP dianggap tetap menjadi pemain penting di Pilgub DKI karena figur Djan Faridz sebagai 'pemilik' Tanah Abang.

Dengan demikian, sambungnya, sangat mungkin Pilgub DKI 2017 hanya diikuti oleh dua pasang calon kandidat antara nasionalis melawan santri modernis. "Jika bertarung Head to Head, maka posisi Ahok bergantung citra penantangnya. Jika penantang Ahok adalah sosok protagonis, maka Ahok akan menjadi antagonis, kondisi ini akan mempengaruhi persepsi pemilih terhadap Ahok," tegasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement