REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tidak mungkin menihilkan seluruh wilayah Indonesia dari hotspot. Artinya tidak mungkin suatu wilayah akan bebas mutlak dari kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menilai pembakaran hutan dan lahan masih akan tetap berlangsung karena terkait dengan mata pencaharian, perilaku, lemahnya penegakan hukum, politik lokal dan masalah sosial lainnya.
Berdasarkan data hotspot tahun 2006-2014, pola hotspot di Sumatera dominan terjadi pada pertengahan Juni – Oktober (lima bulan), sedangkan di Kalimantan pada Juli- Oktober (empat bulan).
"Untuk Riau, sesuai polanya pada bulan Februari – April adalah kering sehingga berpotensi karhutla seperti pada tahun 2014. Data hujan 30 tahun terakhir di Riau menunjukkan ada perubahan pola hujan, dimana pada Februari-April kering. Curah hujan terbatas sehingga mudah terbakar," ujar Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB melalui siaran resminya pada Sabtu (27/2).
Sutopo menjelaskan, hal ini terbukti dengan mulai meningkatnya hotspot dari kebakaran hutan dan lahan. Berdasarkan pantauan satelit Modis dengan sensor Terra dan Aqua pada Sabtu (27-2-2016) terdapat 69 hotspot dari kebakaran hutan dan lahan. 69 hotspot ini tersebar di Kalimantan Timur 38 (Kab Kutai Kartanegara 8, Kutai Timur 30), Kalimantan Utara 1, Papua 2, Sulawesi Selatan 4, Aceh Selatan 3, Riau 14 (Kab Bengkalis 13, Siak 1) dan Sumatera Utara 6.
Hotspot yang terjadi tidak luas dan aparat setempat berhasil memadamkan. Hampir semuanya disebabkan dibakar atau disengaja oleh oknum dalam rangka pembersihan lahan.
Menurut dia, ancaman kebakaran hutan dan lahan saat ini bukan hanya di Sumatera dan Kalimantan. Tapi juga di daerah lain. Sebagai gambaran, sebaran daerah yang terbakar pada tahun 2015 lalu sesuai urutan luasnya adalah Sumatera Selatan (641.964 ha), Kalimantan Tengah (574.530 ha), Papua (366.166 ha), Kalimantan Selatan (199.018 ha), dan Riau (186.069 ha).
BPBD Riau bersama Manggala Agni, TNI, Polri, Damkar dan lainnya memadamkan api. Kebakaran seluas 10 hektar sejak Rabu (24/2) hingga sekarang di Kecamatan Teluk Meranti Kabupaten Pelalawan belum dapat dipadamkan seluruhnya. Lokasi berada di tengah semak belukar.
Kebakaran lahan seluas dua hektar di Kecamatan Bantan, Kabupaten Bengkalis masih dalam penanganan. Sedangkan kebakaran lahan di Kecamatan Pangkalan Kerinci dan Kecamatan Kerumutan, Kabupaten Pelalawan sudah dipadamkan.
Hotspot di Kalimantan Timur, kata Sutopo, khususnya di Kutai Kartanegara dan Kutai Timur sudah terpantau sejak dua minggu terakhir, seperti kebakaran lahan lima hektar di Desa Muhurun, Kecamatan Kenohan, Kabupaten Kutai Kartanegara pada 30 Januari. Hal itu sengaja dibakar oknum masyarakat untuk pembukaan lahan.
Sementara kebakaran hutan dan lahan di Desa Puan Cepak, Kecamatan Muara Kaman, Kabupaten Kutai Kartanegara dilakukan oleh oknum masyarakat dengan alasan hutan bebas dan untuk membuka lahan baru. Bahkan kebakaran di sekitar areal hutan lindung di Bontang pada Sabtu (20/2) menyebabkan tiga orangutan terbakar.
"Masih banyak masalah di lapangan yang menyebabkan kebakaran masih berlangsung. Kebiasaan sebagian masyarakat yang membakar kebun untuk pembukaan lahan masih banyak ditemukan. Tidak mungkin hanya dilarang saja namun harus diberikan solusi praktis karena terkait dengan ekonomi dan matapencahariannya. Begitu pula illegal logging juga masih banyak terjadi di kawasan hutan," katanya menegaskan.
Kebakaran hutan dan lahan yang sudah berlangsung saat ini, menurut Sutopo sesungguhnya adalah kesempatan untuk menerapkan semua strategi antisipasi kebakaran hutan dan lahan.
Diperkirakan kemarau tahun 2016 tidak akan sekering tahun 2015, karena El Nino diperkirakan akan berakhir pada April, untuk selanjutnya fenomena La Nina akan menguat sehingga musim kemarau relatif basah di wilayah Indonesia. Musim hujan diperkirakan akan datang lebih awal dan intesitas hujan lebih tinggi pada musim penghujan 2016/2017.
"Kondisi ini tentu akan memudahkan kita dalam upaya antisipasi kebakaran hutan dan lahan," kata dia.