REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) menilai Tapera merupakan satu harapan terciptanya kesejahteraan dan penghidupan yang lebih layak. Sebab selama ini buruh kerap hidup sulit tanpa memiliki rumah tetap.
Presiden KSBSI Mudhofir Khamid mengatakan pihaknya sangat mendukung UU Tapera. Meski demikian terdapat beberapa hal yang harus diperbaiki dalam rancangan undang-undang (RUU) yang tengah dibahas tersebut. Salah satunya adalah masalah nominal.
Menurutnya, jika berpegang pada program 1 juta rumah, kategori masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) adalah calon pembeli rumah yang merupakan pekerja formal berpenghasilan tetap maksimal Rp 7 juta/bulan untuk pembeli rumah susun, dan seseorang dengan penghasilan Rp 4 juta untuk calon pembeli rumah tapak (landed house).
"Dalam UU Tapera ini, penghasilannya adalah upah minimum, artinya karena Indonesia tidak mengenal sistem upah minimum nasional, maka perlu disepakati nilai rata-rata upah minimum nasional di Indonesia, sehingga seluruh buruh di Indonesia dapat mengakses program UU Tapera tersebut," jelasnya.
Selain itu, sinergitas dari program 1 juta rumah, program perumahan BPJS, UU Tapera, dan program-program pemerintah dalam pembiayaan perumahan lainnya agar tidak duplikasi dan over laping.
Mengingat dana tabungan perumahan yang dikelola nantinya bernilai sangat besar dan berpotensi terjadi penyalahgunaan jika tidak diawasi dengan benar, maka selain dipersiapkannya payung hukum yang tepat, perlu juga dipertimbangkan perwakilan unsur buruh, pengusaha dan pemerintah dalam sebuah dewan pengawas Tapera tersebut.
"Selanjutnya, belajar dari kontribusi pemerintah dalam program 1 juta rumah, dimana pihak swasta berkontribusi 95%, sedangkan kontribusi pemerintah melalui Kemenpera dan BUMN Perumnas dalam membangun rumah untuk MBR hanya berkontribusi 5%," jelasnya.
Pemerintah, sambung Mudhofir, lewat UU Tapera ini diharapkan dapat meningkatkan kontribusinya dalam sektor perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah lewat porsi APBN yaitu lebih dari 5%, sehingga dengan peningkatan kontribusi tersebut akan mempercepat akselerasi implementasi UU Tapera ini.
KSBSI pun berharap pemerintah dapat lebih serius lagi untuk menekan angka kemiskinan Indonesia yang salah satunya disebabkan oleh kebutuhan rumah layak huni untuk masyarakat miskin dan MBR yang belum terpenuhi dengan memberi anggaran lebih banyak untuk perumahan dari APBN.
"Masalah kebutuhan rumah layak huni menjadi perhatian serius bagi Serikat Buruh mengingat nilai komponen hunian/perumahan dalam komponen hidup layak secara real menggerus penghasilan buruh sampai dengan 20% per bulan, yang tentunya sangat berpengaruh terhadap daya beli buruh dan keluarganya," katanya.