REPUBLIKA.CO.ID, -- JAKARTA – Empat poin revisi UU No 30 Tahun 2002 atau UU KPK akan dibahas oleh semua fraksi DPR RI pada Selasa (23/2) nanti. Pengamat Politik Djayadi Hanan menilai di dalam empat poin hanya satu yang dapat menguatkan KPK.
“Yang menguatkan KPK hanya pada poin penyelidik dan penyidik independen. Sedangkan yang lainnya melemahkan, walaupun ada pihak DPR dan pemerintah yang mengatakan revisi untuk memperkuat,” ujar dia, Senin (22/2).
Dia mengatakan ketiga poin yang ada di dalam draft revisi UU KPK akan melemahkan dan tidak menguatkan KPK. Untuk semua poin yang akan dibahas antara lain, pertama tentang pembentukan dewan pengawas, kedua tentang penyadapan, ketiga penuntutan dan Surat Perintah Penyidikan (SP3), dan keempat pengangkatan penyidik dan penyelidik independen KPK.
Djayadi mengatakan dengan adanya revisi UU KPK yang cenderung melemahkan dapat mengganggu independensi KPK nantinya. Misalkan salah satu poin yang paling potensial mengganggu kinerja KPK rencana pembentukan badan pengawas. Karena jika persoalan pembentukan pengawas terkait kode etik, tidak perlu hingga membuat dewan pengawas.
“Dewan etik KPK bisa dibentuk sewaktu-waktu. Misalkan kemarin ada di periode Abraham Samad ada beberapa komisioner KPK yang diberikan sanksi etik kan?,” kata dia.
Dia menerangkan kalau alasan untuk membuat dewan pengawas hanya untuk pengawasan kode etik hal tersebut tidak diperlukan. Sebab untuk mengawasi kinerja mereka sudah ada rakyat Indonesia, DPR RI dan Presiden RI.
“Kan KPK dibentuk oleh DPR dan Presiden. Berarti secara tidak langsung, secara konstitusi yang mengawasi mereka DPR dan Presiden, mengapa harus dibuat dewan pengawas lagi? Itu yang membuat lemah kinerja KPK,” kata dia.
Alasan dewan pengawas dapat melemahkan KPK, karena dapat menimbulkan konflik jika ada ketidaksepakatan tertentu. Nanti, kata Djayadi, KPK bukan disibukan untuk menangani korupsi namun disibukan dengan dewan pengawas.