Ahad 21 Feb 2016 05:53 WIB
Hari-Hari Terakhir Kalijodo

Keteraturan Sosial Model Kalijodo

Rep: lintar satria/ Red: Muhammad Subarkah
Kalijodo tahun 1940-an
Foto: istimewa
Kalijodo tahun 1940-an

REPUBLIKA.CO.ID -- Pelacuran sebagai salah satu masalah sosial, sering dipandang sebagai profesi yang haram karena dampaknya dapat menghancurkan kredibilitas sebuah rumah tangga. Namun, disisi lain harus diterima sebagai eksistensinya dari sebuah kenyataan sosial bila mengacu pada sejarah peradaban manusia, keberadaan Kalijodo pada satu sisi juga sebagai sarana memenuhi kebutuhan ekonomi-sosial dari sebagian masyarakat.

Maka di dalam melihat fenomena itu menjadi tak mengherankan bila Kalijodo sebagai tempat pelacuran 'kelas kambing' yang ada  di Jakarta telah banyak mendapat telaah dari para ilmuwa sosial. Salah satunya adalah melalui  penelitian I Ketut Suardana. Dia mengadakan penelitian di Kalijodo untuk keperluan penulisan tesisnya pada tahun 2000.

Dalam penelitian itu Suardana menemukan fakta bila di komplesk pelacuran liar Kalijodo itu terdapat sebuah pola hubungan keteraturan sosial. Keteraturan tersebut sebagai wujud dari hubungan sosial antara sesama pelacur, dengan germo, dan warga setempat. Pola hubungan segitiga ini didasari pada pola-pola hubungan patron-klien. Dengan jenis patronnya: pemilik tanah, pemilik modal, Ketua RW, dan patron-patron lain.

“Masing-masing patron berperan dalam kehidupan pelacur di pemukiman kumuh liar Kalijodo.” tulisnya, dikutip pada Ahad (21/2).

Dalam kenyataannya fenomena pelacuran Kalijodo menjadi bersifat fungsional dalam sistem sosial masyarakat setempat yang warganya sangat tergantung dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Kalijodo yang terletak di RT 001, RT 003, RT 004, RT 005 dan RT 006 pada RW 05 Kelurahan Pejagalan Kecamatan Penjaringan yang merupakan pemukiman kumuh liar itu.

Ketut menulis sebagai pemukiman kumuh, Kalijodo memiliki sejarah yang mewujudkan kondisi masyarakatnya saat ini. Lokasi pelacuran Kalijodo dimulai dengan kehadiran orang-orang Tionghoa untuk melakukan tradisi "Cengbeng" sejak 1950-an. Tradisi ini mengundang daya tarik untuk berkunjung dan sambil memancing ikan di Kali Banjir Kanal yang airnya bersih dan jernih sekaligus dimanfaatkan oleh masyarakat untuk mencari jodoh.

“Dalam perkembangannya dari tahun 1950-an sampai dengan tahun 1991-an, lokasi ini sudah berdiri rumah-rumah tempat tinggal dan rumah atau wisma bagi para pelacur.” tulisnya lagi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement