Sabtu 20 Feb 2016 07:07 WIB

Jangan Memusuhi Penggemar LGBT

Arif Supriyono/ Wartawan Republika
Foto: Dokumen pribadi
Arif Supriyono/ Wartawan Republika

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Arif Supriyono/ Wartawan Republika

Awal Juli tahun lalu, saya menulis tentang LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender). Tulisan itu hanya berselang seminggu setelah keputusan Mahkamah Agung (MA) Amerika Serikat (AS) yang mengakui pernikahan sejenis kelamin. Keputusan itu sekaligus mengharuskan 50 negara bagian di sana untuk mengakui hal itu.

Kala itu saya memperkirakan, angin keputusan MA Amerika Serikat itu akan bertiup ke Indonesia. Di bawah ini kutipan tulisan saya terdahulu. "Saya yakin, ada kelompok kecil masyarakat Indonesia --sebagai penganut perilaku LGBT-- yang ikut merasakan kebahagiaan ini. Mereka tentu berharap, angin kegembiraan dari AS itu bisa berembus ke sini dan menjadi sebuah keputusan resmi sebagai bentuk pengakuan pernikahan sejenis dari pemerintah.

Enam bulan setelah itu, para penggemar LGBT mulai berani muncul secara terbuka di negara kita. Kampanye yang mereka lakukan tak lagi sembunyi-sembunyi seperti dulu. Mereka pun tak lagi malu menampakkan roman mukanya ke hadapan publik atau disorot kamera.

UNDP (United Nations Development Program), badan yang ada di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), juga sudah menganggarkan dana Rp108 miliar tahun ini untuk membela hak-hak kelompok LGBT. Empat negara yang jadi perhatian UNDP adalah Cina, Filipina, Thailand, dan Indonesia.

Gerakan untuk membela LGBT saya kira akan terus membesar. Ini karena dukungan terang-terangan dari negara-negara besar. PBB juga terbukti sudah berdiri di belakang gerakan LGBT.

Sejatinya pijakan yang jadi landasan untuk mengakui LGBT sudah sangat lemah, terlebih di Indonesia. Semua agama resmi di Indonesia --Kristen, Katholik, Hindu, Buddha, Konghucu, dan Islam-- tak mengakui atau menolak pernikahan sejenis.

Landasan ilmiah pun tak mendukung LGBT. Teori gen atau faktor genetis dalam perilku LGBT yang dilontarkan peneliti dari Jerman, Magnus Hirschled, yang pada tahun 1899 sama sekali tak terbukti.

Begitu pula penelitian Dean Hamer, juga seorang gay, terhadap 40 pasangan kakak-beradik homoseksual. Dia membuat hipotesis adanya gen dari perilaku homoseksual yang diturunkan oleh ibu dari kromosom Xq28. Namun, temuan itu dibantah mentah-mentah oleh Prof George Rice dari Universitas Western Ontario, Kanada dan Prof Alan Sanders dari Univesitas Chicago, Amerika Serikat.

George Rice mendalami riset Dean Hamer dengan meneliti 52 pasangan kakak-beradik homoseksual. Sampailah Rice pada simpulan, tak ditemukannya kaitan kromosom Xq28 yang mendasari perilaku homoseksual.  

Ini diperkuat riset Alan Sanders pada tahun 1998-1999. Hasil temuan Sanders juga tidak mendukung teori yang menjelaskan adanya hubungan genetik pada perilaku homoseksual. Jadi, rontoklah sudah teori gen yang dilontarkan Hamer.

Hukum positif di Indonesia juga tak mendukung kelompok LGBT. Pasal 1 huruf a dalam Kompilasi Hukum Islam pun dengan jelas menyebutkan, bahwa perjodohan itu terjadi antara laki-laki dan wanita. Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan (Nomor 1 Tahun 1974) secara tegas juga menyatakan, perkawinan itu merupakan ikatan lahir-batin antara laki-laki dan wanita sebagai suami-istri untuk membentuk keluarga bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Tengok pula UU Administrasi Kependudukan No 23 tahun 2006. Pada penjelasan UU itu dalam pasal 34 ayat (1) menyebutkan, bahwa perkawinan adalah ikatan antara laki-laki dan wanita dalam membentuk rumah tangga.

Dalil agama, landasan ilmiah, dan hukum positif di negara kita tak mendukung atau menolak perilaku LGBT. Satu-satunya jalan yang mereka yakini dan perjuangkan kini hanya aspek hak asasi manusia (HAM). Selera berperilaku LGBT mereka anggap sebagai hak asasi atau ekspresi kebebasan.

Tentang hak asasi LGBT ini saya punya pendapat lain. Menurut pandangan saya, menghamili dan dihamili (dalam bingkai pernikahan) serta melahirkan keturunan adalah hak asasi. Siapa pun tak boleh merampas hak ini kecuali alasan medis yang sangat kuat.

Padahal, berkampanye atau mempromosikan perilaku LGBT adalah sikap yang mengajak orang lain untuk tidak bisa hamil, menghamili, atau berketurunan. Ini sama artinya, propaganda LGBT adalah melakukan gerakan yang menghalangi hak asasi seseorang untuk hamil, menghamilli, dan berketurunan. Karena bertentangan dengan hak asasi, maka berkampanye atau berpromosi tentang perilaku LGBT sungguh tidak tepat dan bila perlu dilarang.

Dari sisi etika, kepatutan, dan perilaku sosial, menganggap perilaku LGBT sebagai hak asasi juga tidak tepat. Lantaran dilarang agama, tak punya pijakan ilmiah, serta menentang hukum positif yang ada di Indonesia, maka LGBT termasuk sebagai bentuk perilaku menyimpang.

Kalau perilaku menyimpang dianggap sebagai hak asasi, maka itu akan punya dampak luar biasa terhadap penyimpangan lainnya. Bayangkan saja kalau mencuri, memperkosa, korupsi, memukuli orang, dan bahkan membunuh dianggap sebagai hak asasi, apa yang akan terjadi di dunia ini?

Tatanan sosial akan porak poranda karenanya. Hubungan antarmanusia akan kembali ke zaman batu karena batasan moral yang sudah menjadi norma bersama tak lagi berlaku. Fungsi pranata sosial yang antara lain menjaga keutuhan dan integrasi masyarakat, memberikan pedoman bagi masyarakat dalam bertingkah laku, serta melakukan pengawasan terhadap tingkah laku masyarakat, akan sia-sia belaka.

Rasanya akal sehat kita tak bisa menerima bila kita harus kembali hidup ke masa lalu dengan dalih hak asasi atau kebebasan. Ini yang mestinya juga menjadi perhatian semua kalangan.

Meski suara yang menolak jauh lebih banyak, saya percaya penggemar LGBT akan tetap melakukan kampanye atau melakukan ajakan, baik terus terang atau sembunyi-sembunyi. Itu bukan semata-mata karena adanya dukungan negara-negara besar. Ada faktor lain dan utama yang jadi pertimbangan untuk mencari pengaruh atau anggota.

Salah satu hal yang membuat mereka akan terus berkampanye adalah lantaran itulah satu-satunya cara bagi mereka untuk tetap ada atau eksis. Tanpa itu, penggemar LGBT akan kian menyusut dengan sendirinya, seiring dengan perjalanan waktu. Ini karena penggemar LGBT tak akan bisa menambah anggota melalui kelahiran atau beranak.

Walau keadannya seperti itu, saya tetap tak mau memusuhi para penggemar LGBT. Tidak pada tempatnya kalau kita sampai melakukan kekerasan terhadap mereka. Mengusir mereka dari lingkungannya, juga bukan merupakan sikap yang benar.

Sebaliknya, kita perlu senantiasa terus-menerus melakukan pendampingan agar mereka bisa kembali sebagai manusia normal sebagaimana fitrahnya, meski harus diakui itu tak mudah untuk dilakukan. Kita pun tetap harus menjaga dan tak boleh memberangus hak-hak mereka: hak sebagai manusia biasa dan bukan sebagai penggemar LGBT.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement